Minggu, 20 Januari 2013

Tuhan Atau Alloh ?


Ada kisah yang cukup menggelitik telinga saya sewaktu ada pelatihan di Pondok Pesantren Al-Qodir. Pondok yang cukup "nyleneh" dan membuat saya sangat kagum serta menguras pikir. Mayoritas santrinya adalah mantan pemakai narkoba dan orang gila yang dalam masa penyembuhan. Namun, bagi saya mereka tidak bisa dipukul rata sebagai orang gila semuanya (baca ; santri gila). Hal ini membuat saya jadi berfikir jika ada terminologi santri gila. Lantas apa ada juga terminologi santri waras?. Saya lebih suka menyebut mereka sebagai santri subversif, iya santri yang keluar dari mainstream kebanyakan. Tentunya mainstream disini kita anggap saja mainstream kewarasan.


Sudah beberapa tahun ini Pondok Pesantren Al-Qodir menjadi rumah sementara dalam setiap pelatihan keorganisasian saya. Muasisnya sangat sederhana dan tidak banyak "ngendiko" atau dalam bahasa kerennya "tidak banyak bicara". Beliau sering menekankan dalam "dawuhnya" untuk menjadi manusia itu jangan "kakean cangkem, neng lakukne mlempem". Beliaulah Kyai Masrur atau akrabnya sering kita panggil dengan sebutan mbah masrur. Seringnya kita menyebut beliau dengan sebutan abah. Tipe manusia yang di-isyaratkan oleh abah yang satu ini membuat berpikir bahwa memang hakikat menjadi manusia adalah dengan "berbuat". Jika kita tidak bisa berbuat banyak, maka berbuatlah sedikit atau sebisanya saja. Paling tidak "berbuat" yang sesuai dengan kadar kemanusiaan kita. Jangan sampai kemudian berhenti dalam kata "MANDEG".

Kemudian ada yang masih saya ingat adalah ketita saya menayakan terkait masalah mengapa di tubuh gerakan yang nota bene bercorak NU belum juga terwujud manajemen keorganisasian yang baik. Malah sering kali terjebat pada kultur konflik yang membabi buta. Beliau menjawab, ; "Lha nek wong-wong koyo kowe durung podo neng mesjid, yo bakalan ngono kuwi". Saya langsung terdiam dan sudah.

Singkat cerita !
Suatu waktu, para peserta pelatihan sedang menikmati jam istirahat. Saya dan beberapa sahabat, taruhlah namanya Indra D. Anshori. Tiba-tiba ada santri subversif (Katakanlah setengah gila) mendekati kami sambil bertanya,

"mas, teman-teman di organisasi sampeyan itu kalo nyebut "ALLOH" pake TUHAN atau ALLOH?" ujarnya.

 Saya sempat kaget kok bisa santri subversif (setengah gila) bisa nanya gitu. Kemudian saya jawab,

"Ada yang pake ALLOH, ada juga yang pake TUHAN. Namun, kebanyakan peke TUHAN", sahut saya.

Santri subversif tadi nambahi bertanya, ; "Lho kok kebanyakan pake TUHAN?, Semenjak kapan teman-teman anda nyebut ALLOH kok pake TUHAN?"

Saya terdiam sejenak tiba-tiba azan ashar berkumandang dan kami memutuskan meninggalkan Santri tadi untuk sholat ashar berjamaah bareng abah masrur. Nah, sampai sekarang saya masih punya hutang sama santri tadi untuk menjawab pertanyaannya.

Bagaimana pendapat anda jika harus anda menjadi orang yang melunasi utang tersebut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar