Anarkisme memiliki tujuan positif dalam kaitannya dengan kehidupan politik karena berperan aktif dalam upaya mengkritik pemerintahan agar tidak berlangsung secara tirani.
SERING terdengar istilah anarkisme dalam media massa namun kadang orang tidak mengerti arti anarkisme yang sesungguhnya. Anarkisme selalu dikaitkan dengan kebrutalan atau kekacauan (chaos), padahal anarkisme merupakan sejarah panjang salah satu ideologi.
Istilah ini kali pertama digunakan oleh
Pierre-Joseph Proudhon. Secara ontologi, anarkisme bertujuan menolak
otoritas penuh yang mengatur masyarakat; negara yang mengatur rakyatnya.
Kaum anarkis memercayai bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat
dasar alamiah untuk hidup bekerja sama antarkelompok individu.
William Godwin, seorang anarkis,
memberikan tesis mengenai sifat kerja sama tersebut dengan analogi bahwa
manusia jika dikembangkan dengan sempurna, bukan hanya bisa tidak
agresif melainkan juga menjadi makhluk yang dapat bekerja sama.
Keadaan manusia yang didambakan ini tidak terkubur di masa lalu, melainkan merupakan masa depan yang tak terhindarkan, dan dalam masa depan semacam ini negara tidak akan diperlukan lagi. (Jonathan Wolf dalam An Intruduction to Political Philosophy, 2006).
Secara ekspilisit, kaum anarkis menolak adanya negara. Negara hanya akan memberikan pembelengguan terhadap warganegara. Mereka percaya bahwa setiap individu dapat mengatur dirinya karena hakikatnya setiap manusia memiliki sifat untuk bekerja sama.
Namun, apakah benar pendapat kaum anarkis bahwa sifat dasar manusia adalah mau bekerja sama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan satu keadaan alamiah manusia (state of nature)-tanpa terikat otoritas apa pun.
Tesis mengenai keadaan alamiah (state of nature) bertujuan untuk mengetahui bagaimana sifat dasar manusia tanpa adanya campur tangan pihak lain, termasuk negara. Banyak tesis mengenai keadaan alamiah ini, salah satunya dari Thomas Hobbes.
Dalam Leviathan (1651), Hobbes menjelaskan tesisnya tentang state of nature. Pemikiran Hobbes mengenai keadaan alamiah itu dipicu oleh perang saudara di Inggris. Perang itu ia baca sebagai keadaan alamiah karena tidak ada lagi otoritas yang dapat mengendalikan perang tersebut. Ia menyatakan bahwa dalam keadaan alamiah ini ada kelangkaan.
Baginya, keadaan alamiah merupakan keadaan yang sangat tidak mengenakkan; akan timbul konflik dan peperangan, bahkan sesama warga negara sendiri. Jadi, Hobbes menyadari bahwa hakikatnya manusia memiliki keinginan untuk mengejar kebahagiaan (felicity).
Seperti Firdaus
Keinginan manusia untuk mengejar kebahagiaan inilah yang kemudian membuat sesama manusia terlibat dalam peperangan, karena Hobbes menyadari dalam keadaan alamiah juga terjadi kelangkaan. Ia menyimpulkan, perlu adanya sebuah negara dan pemerintahan yang kuat untuk mengatur antarwarganegara agar terhindar dari peperangan mengejar kebahagiaan.
Tesisnya mengenai keadaan alamiah itu menunjukan bahwa dia tidak sependapat dengan kaum anarkis yang tidak menghendaki berdirinya negara. Perbedaan yang mendasar adalah pembacaan mengenai hakikat manusia. Kaum anarkis menganggap manusia memiliki hakikat untuk bekerja sama, sedangkan Hobbes menganggap bahwa manusia pada dasarnya hanyalah mengejar kebahagiaan individu.
Meski argumen Hobbes nampak kuat dan rasional karena objek materialnya dialami sendiri, yakni perang saudara di Inggris, tetap saja muncul anggapan lain mengenai teori hakikat manusia dalam state of nature. Inilah perjalanan sebuah ilmu: ada tesis, antitesis, dan sintesis.
John Locke, filsuf yang lahir di Inggris, banyak mempelajari karya-karya Hobbes, meski ia tidak setuju dengan pandangannya. Dalam bukunya The Second Treatise of Government, ia memberikan argumen mengenai state of nature. Locke menyatakan, bahwa keadaan alamiah (state of nature) bukan seperti yang digambarkan oleh Hobbes, melainkan merupakan keadaan berkelimpahan, bahkan seperti firdaus.
Jika kita telah mengerti bahwa anarkisme merupakan suatu paham besar dengan berbagai sejarahnya, maka istilah ini seharusnya tidak lagi kita kaitkan dengan kebrutalan atau kerusuhan. Demo yang berlangsung ricuh, ataupun kejadian yang berakhir brutal sama sekali tidak ada hubungannya dengan anarkisme karena penyebutan kata anarkisme sudah ‘’salah kaprah’’. Lebih jauh dari itu, anarkisme juga memiliki tujuan yang positif dalam kaitannya pada kehidupan politik. Anarkisme berperan aktif dalam upaya mengkritik jalannya pemerintahan agar tidak berlangsung secara tirani.
Keadaan manusia yang didambakan ini tidak terkubur di masa lalu, melainkan merupakan masa depan yang tak terhindarkan, dan dalam masa depan semacam ini negara tidak akan diperlukan lagi. (Jonathan Wolf dalam An Intruduction to Political Philosophy, 2006).
Secara ekspilisit, kaum anarkis menolak adanya negara. Negara hanya akan memberikan pembelengguan terhadap warganegara. Mereka percaya bahwa setiap individu dapat mengatur dirinya karena hakikatnya setiap manusia memiliki sifat untuk bekerja sama.
Namun, apakah benar pendapat kaum anarkis bahwa sifat dasar manusia adalah mau bekerja sama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan satu keadaan alamiah manusia (state of nature)-tanpa terikat otoritas apa pun.
Tesis mengenai keadaan alamiah (state of nature) bertujuan untuk mengetahui bagaimana sifat dasar manusia tanpa adanya campur tangan pihak lain, termasuk negara. Banyak tesis mengenai keadaan alamiah ini, salah satunya dari Thomas Hobbes.
Dalam Leviathan (1651), Hobbes menjelaskan tesisnya tentang state of nature. Pemikiran Hobbes mengenai keadaan alamiah itu dipicu oleh perang saudara di Inggris. Perang itu ia baca sebagai keadaan alamiah karena tidak ada lagi otoritas yang dapat mengendalikan perang tersebut. Ia menyatakan bahwa dalam keadaan alamiah ini ada kelangkaan.
Baginya, keadaan alamiah merupakan keadaan yang sangat tidak mengenakkan; akan timbul konflik dan peperangan, bahkan sesama warga negara sendiri. Jadi, Hobbes menyadari bahwa hakikatnya manusia memiliki keinginan untuk mengejar kebahagiaan (felicity).
Seperti Firdaus
Keinginan manusia untuk mengejar kebahagiaan inilah yang kemudian membuat sesama manusia terlibat dalam peperangan, karena Hobbes menyadari dalam keadaan alamiah juga terjadi kelangkaan. Ia menyimpulkan, perlu adanya sebuah negara dan pemerintahan yang kuat untuk mengatur antarwarganegara agar terhindar dari peperangan mengejar kebahagiaan.
Tesisnya mengenai keadaan alamiah itu menunjukan bahwa dia tidak sependapat dengan kaum anarkis yang tidak menghendaki berdirinya negara. Perbedaan yang mendasar adalah pembacaan mengenai hakikat manusia. Kaum anarkis menganggap manusia memiliki hakikat untuk bekerja sama, sedangkan Hobbes menganggap bahwa manusia pada dasarnya hanyalah mengejar kebahagiaan individu.
Meski argumen Hobbes nampak kuat dan rasional karena objek materialnya dialami sendiri, yakni perang saudara di Inggris, tetap saja muncul anggapan lain mengenai teori hakikat manusia dalam state of nature. Inilah perjalanan sebuah ilmu: ada tesis, antitesis, dan sintesis.
John Locke, filsuf yang lahir di Inggris, banyak mempelajari karya-karya Hobbes, meski ia tidak setuju dengan pandangannya. Dalam bukunya The Second Treatise of Government, ia memberikan argumen mengenai state of nature. Locke menyatakan, bahwa keadaan alamiah (state of nature) bukan seperti yang digambarkan oleh Hobbes, melainkan merupakan keadaan berkelimpahan, bahkan seperti firdaus.
Jika kita telah mengerti bahwa anarkisme merupakan suatu paham besar dengan berbagai sejarahnya, maka istilah ini seharusnya tidak lagi kita kaitkan dengan kebrutalan atau kerusuhan. Demo yang berlangsung ricuh, ataupun kejadian yang berakhir brutal sama sekali tidak ada hubungannya dengan anarkisme karena penyebutan kata anarkisme sudah ‘’salah kaprah’’. Lebih jauh dari itu, anarkisme juga memiliki tujuan yang positif dalam kaitannya pada kehidupan politik. Anarkisme berperan aktif dalam upaya mengkritik jalannya pemerintahan agar tidak berlangsung secara tirani.
Lalu apa arti anarkisme..?
Kita mulai dari anarkisme, anarkhisme, atau anarchisme yang memiliki kata dasar anarki lalu berakhiran isme. Anarki, anarchy, anarchie, anarchos serta anarchia adalah kata bentukan ‘a’ dengan archos atau archia yang disisipi “n“. ‘a’
memiliki arti tidak, tanpa, dan nihil. Sementara archos atau archia
adalah kata yang bermakna pemerintah atau kekuasaan. Jadi anarchos atau anarchia bisa didefinisikan sebagai “tanpa pemerintahan”. ‘Anarkis‘ sendiri adalah subyek/orang yang mempercayai anarki, ‘isme’ berarti paham, ajaran, ideologi.
Menurut Peter Kropotkin (Russian, 1842 – 1921) Anarkisme
adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Yaitu dimulai
antarmanusia dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama
hal itu merupakan pergerakan dari manusia itu sendiri.
Errico Malatesta
(Roma, 1853 – 1932) juga berkata bahwa penghapusan eksploitasi dan
penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari
kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas.
Jadi merunut kata perkata serta quotation diatas dapat disimpulkan bahwa anarkisme
adalah suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk negara,
pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang
menumbuh-suburkan penindasan terhadap kehidupan. Oleh karenanya negara,
pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihapuskan bahkan dihancurkan
karena paham anarki adalah “tanpa pemimpin”, bukan “tanpa aturan”.
Bersama anarki maka datanglah masa ordnung, atau masa keteraturan sejati. Dengan kata lain keteraturan secara sukarela.
Anarkisme merupakan
teori politik yang bertujuan demi menciptakan masyarakat tanpa hirarkis
-baik pada bidang ekonomi, politik pun sosial-, dimana orang yang
menganut paham anarki ini tetap berkehendak mempertahankan “ketiadaan
pemerintahan” itu dijadikan sebagai sebuah format untuk diterapkan
kedalam sistem sosial, sehingga mampu menciptakan kebebasan secara
individu dan juga kebersamaan pada sisi sosial. Hal itu bisa diwujudkan
lantaran para anarkis melihat bahwa tujuan akhir dari kebebasan dan
kebersamaan tak lain dan tak bukan adalah juga sebagai sebuah kerjasama
yang saling membangun antara satu dengan lainnya. Hal ini senada dengan
yang dituturkan oleh Mikhail Bakunin yang juga ditasbihkan sebagai pencipta gerakan anarkisme modern.
Kebebasan tanpa sosialisme adalah ketidakadilan, dan sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan” (Mikhail Bakunin, 1814 – 1876)
Anarkisme bukan Bom
atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah
perang pun perusakan di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti
kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme
adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa Anda harus
bebas. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak anda, menjadi
majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda. Itu berarti bahwa
anda harus bebas untuk melakukan apa yang anda mau, memiliki kesempatan
untuk memilih jenis kehidupan yang anda inginkan serta (hidup) berada
didalamnya tanpa ada yang mengganggu dan diganggu. Memiliki persamaan
hak, hidup dalam perdamaian serta harmoni seperti saudara. Menikmati
kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan. (Alexander Berkman 1870 – 1936)
Quotation diatas adalah pendapat Berkman. Lain dari itu, ada lagi pernyataan tentang anarkisme dari Durruti , dimana dari pernyataan Durruti ini tak jarang orang-orang justru lebih memaknainya hanya berhenti pada sebelah ayat. Hal yang di sampaikan oleh Buenaventura Durruti Dumange (Spanyol, 1896 – 1936) adalah bahwa ‘terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan’.
Yang butuh dicerna dalam memahami pernyataan Durruti itu adalah bahwa Durruti mengeluarkan kalimat tentang ‘selongsong senapan’
itu hanya ditujukan kepada pemerintah, militer dan penguasa yang
memiliki paham kapitalis, yaitu serakah menguasai hajat hidup orang
banyak. Artimya kekerasan yang diambil Durruti demi melawan
wewenang yang sewenang-wenang ini sangat bisa dipahami karena memang
sudah sewajarnya. Akan tetapi JUSTRU DI POSISI INILAH awal mula
pemutarbalikan fakta itu terjadi, dimana isu anti kekerasan juga dimanfaatkan oleh penguasa
untuk membatasi gerak para aktivis agar tak merusak hak milik mereka.
Alasan itu dipropagandakan para penguasa untuk memukul balik para
anarkis -atas nama menjaga stabilitas- dan sekaligus difungsikan guna
memberi jarak aman antara penguasa dan yang dikuasai.
Banyak orang -termasuk generasi dewasa
ini- akhirnya sudah termakan propaganda penguasa. Banyak orang kurang
memahami bahwa kekerasan – ataupun penghujatan – yang awalnya dilakukan Durruti ditujukan terhadap kelompok yang lebih berkuasa, padahal kalau kita mau mencerna justru sikap perlawanan Durruti itu adalah upaya pembelaan, sementara kekerasan dan pelecehan penguasa kepada kaum lemah adalah bentuk sikap fasis.
Kekerasan, perusakan,pembunuhan acapkali
dinamakan JIHAD ketika diarahkan untuk melawan penjajah -Belanda- oleh
pejuang kemerdekaan. Sebaliknya, kekerasan bakal dimasukkan kedalam
nilai JAHAT adalah ketika diarahkan untuk membunuh sesama. Sebagai
contoh adalah kaum Ahmadi yang dibunuh oleh sesama saudara Muslim. Hal
itu jelas berbeda dengan kekerasan yang dilakukan oleh pejuang
kemerdekaan terhadap para penjajah, karena ini adalah perwujudan anarkis, di ijinkan atas nama ketertindasan.
Dari uraian paragraf di atas bisa di
tarik kesimpulan bahwa musuh utama Anarkisme adalah Fasisme. Jadi senada
dengan ucapan mBah MartoArt,
karenanya amatlah lucu -kalau tak mau dikatakan dungu- ketika kita
sebagai rakyat ini harus turut mendukung pembubaran organisasi pun
tindak anarki padahal yang melakukan perbuatan penindasan itu sama
sekali bukan kaum anarkis, melainkan kaum fasis.
Padahal paham penindasan berbau fasis
yang harus dilawan itu ternyata telah banyak dilakukan oleh
generasi-generasi terdahulu. Sejarah memaparkan bahwa ada banyak tokoh
mempelopori gerakan perlawanan itu.
Pertama sebut saja William Godwin sebagai orang pertama yang memberikan bentuk jelas tentang filsafat anarkisme dan meletakannya pada konteks proses evolusi sosial. Nama-nama penerus karya Godwin
adalah George Buchanan, Richard Hooker, Gerard Winstanley, Algernon
Sydney, John Locke, Robert Wallace, John Bellers, Jeremy Bentham, Joseph
Priestley, Richard Price dan Thomas Paine.
William Godwin
(1756 – 1836) justru menemukan sebab-sebab “penyakit sosial” justru
pada keberadaan negara itu sendiri. Saat itu keberadaan negara hanya
sebatas karikatur masyarakat, sementara keberadaan manusia hanyalah
sebagai karikatur diri lantaran hanya sebatas digalakkan untuk menyekat
ekspresi alami kemanuisaannya.
Ide Godwin mengenai masyarakat tanpa
negara mengasumsikan hak sosial ya harus diterapkan untuk semua kekayaan
alam dan sosial, sementara kegiatan ekonomi akan dijalankan berdasarkan
ko-operasi bebas antarprodusen. Ide Godwin diposisi ini dikenal dengan istilah anarkisme-komunis.
Selanjutnya generasi Pierre-Joseph Proudhon
(1809 – 1865) melanjutkan ide Godwin, hanya saja agak lain lantaran
juga memiliki latarbelakang berbeda, yaitu bahwa Proudhon bukanlah
seorang komunis. Proudhon sangat melawan hak
eksploitasi melalui hak milik, akan tetapi mengakui hak milik untuk
berproduksi, dimana hasil produksi itu akan dipakai oleh
kelompok-kelompok industri yang terikat antara satu dengan yang lain
dalam kontrak yang bebas, dengan catatan tak digunakan untuk
mengeksploitasi manusia lain dan selama seorang individu dapat menikmati
seluruh hasil kerjanya. Di kondisi ini maka kemampuan kapital
untuk menjalankan riba otomatis menjadi sirna. Kalaupun misalnya
kapital itu masih tersedia pada setiap orang, maka kapital tersebut
fungsinya bukan lagi menjadi sebuah instrumen yang bisa dipakai untuk
mengeksploitasi, melainkan sebagai instrumen berbagi.
Pada akhirnya bentuk anarkisme yang damai tiba-tiba sirna oleh anakronisme. Dimana anakronisme adalah pemelintiran 180 derajad makna dari Anarkisme.
Hal ini awalnya memang banyak dilakukan di dunia barat -yang banyak
menganut kapitalis-. Akan tetapi gerakannya sungguh dahsyat lantaran
mampu menjurus ke segala penjuru dunia, termasuk di negeri kita ini,
Indonesia.
Indonesia yang pada awalnya berentuk Nusantara
masih sangat mengenal gotongroyong, lampah saiyeg sekapraya, pun
tradisi senada di beberapa daerah, namun pada akhirnya hal itu mulai
terkikis juga. Sikap menghindari teknologi perusak kemanusiaan oleh Suku
Badui pun mulai agak bergeser dengan fenomena badui luar. Padahal kalau
kita mau menilik sejarah awal terbentuknya Indonesia ini justru oleh Bung Karno telah diarahkan pada bentuk berdikari (berdiri pada kaki sendiri) pun swadesi,
yaitu gerakan yang menganjurkan agar menggunakan barang-barang buatan
sendiri. Memang bukan satu kejanggalan hal itu dilakukan oleh Bung
Karno, lantaran selain memang paham dengan ahimsanya Mahatma Gandhi ternyata Bung Karno juga sangat mengerti dengan paham anarkisme.
Namun sepertinya negeri ini mulai
terlihat berubah arah adalah saat dikelola orang yang tak tepat.
Perubahan arah itu sangat bisa dipahami lantaran Anarkisme adalah sistem sosial di wilayah kiri yang tegas berhadapan dengan tiga unsur utama terbentuknya rezim Orde Baru, yaitu Kapitalisme, Fasisme, dan Feodalisme.
Jadi masihkan Anda teman-teman tercintaku semua akan menggunakan istilah anarki, anarkisme, ataupun anarchis untuk memberikan julukan pada -pelaku- tindak kekerasan pun perusakan..?
Jika itu yang Anda yakini, mohon dicerna kembali tentang sejarah ideologinya. Sepertinya akan lebih tepat kalau tindak perusakan pun kekerasan itu diistilahkan dengan kata ‘vandal’ ataupun ‘brutal’, sama sekali bukan dengan anarkisme. Lantaran yang dimaknai dari istilah anarkisme sesungguhnya adalah sebuah ideologi yang di beberapa sisi justru non-violence, dan tentu saja anti-brutality.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar