Sewaktu
sowan Abah, ada beberapa tamu yang bermaksud untuk merombak tradisi pesantren
NU.
Nah,
ada salah satu tamu yang nota bene sudah mendeklarasikan diri sebagai
"Santri Modernis". Santri tersebut membicarakan tentang beberapa
"Proyek Modernitas" yang belum tuntas. Santri tersebut bersikukuh
bahwa dirinya adalah pewaris tunggal dari misi pencerahan. Kemudian, santri
tadi mengusulkan pada abah untuk segera me-modern-kan pesantren dengan atribut
ke-barat-an yang sudah selama ini dia geluti. Santri ini bermaksud bahwa
pesantren harus melewati tahap modernisasi terlebih dahulu, baru kemudian kalau
sudah deal dengan proyek-nya. Maka, kemajuan di pesantren pasti tidak dapat
terelakkan
Setelah
itu, usulan ini disanggah sama salah satu santri yang menamakan dirinya
"Santri Tradisionalis" Santri Tradisionalis ini "ngotot"
bahwa pesantren sudah biarlah apa adanya, asalkan tradisi tidak digeser dan
digantikan dengan misi pencerahan dari Santri Modernis.
Tidak
mau kalah, ternyata masih ada tamu santri lagi. Santri yang ketiga ini fasih
berbahasa Arab dan hampir cara dia bicara dan berdandan sangat mirip dengan
orang Arab. Santri yang ketiga ini mengkritik, bahkan menuding bahwa abah
adalah dalang dari segala macam bentuk "Kekafiran" dan pesantren
menjadi alat "Propaganda-nya". Santri ke tiga ini, menuntut agar
pesantren segera di-Arab-kan seperti zaman Rasulullah SAW. Santri ketiga ini
berpendapat bahwa jalan yang dia ikuti adalah jalan para "salafus
shalikhin".
Akhirnya,
terjadi perdebatan sengit di dalam ''Ndalem Abah". Sementara Abah cuma
geleng-geleng sambil membaca istigfar dalam hati. Terjadi adu mulut (maaf
jangan diasumsikan sebagai ciuman) diantara ketiga santri tersebut.
Setelah
itu, tiba-tiba mereka menujukan mata kearah saya. Iya, saya cuma "tukang
buat minum" di "ndalem abah", mereka menanyakan nama saya dan
meminta saya berpendapat.
Sementara,
saya yang nota bene cuma "santri kluthuk" cuma bisa berkata "
Nama saya itu bangkit kang, iya bagi saya NU itu ya terdiri dari dua
"isim", yakni Nahdhah dan Ulama. Nahdhah berarti bangkit, atau
tepatnya kebangkitan, dan ulama berarti kaum terdidik (baik secara moral maupun
intelektual). Saya itu sebagai santri ya NU, Nunut Udud sama Nunut Urip saja.
Selebihnya terserah kalian mau bagaimana".