A. Pendidikan Islam Tradisional
1. Ciri
Pendidikan Tradisional.
Pada
awalnya pendidikan Islam tampak sangat tradisional yang berbentuk
halaqoh-halaqoh. Apalagi bila meruntut ke belakang mulai dari zaman Nabi
diawali dengan pelaksanaan pendidikan di rumah (informal), kuttab ( lembaga
pendidikan yang didirikan dekat masjid, tempat untuk belajar membaca dan
menulis Al-Quran ), kemudian pendidikan di masjid dengan membentuk
halaqoh-halaqoh ( lingkaran kecil, saling berkumpul dan transfer ilmu ), sallon
( sanggar-sanggar seni ; kemudian berkembang menjadi tepat tukar menukar
keilmuan, transfer pengetahuan), dari masjid berubah menjadi madrasah ( Syamsul
Nizar : 2007, 109-124 ).
Ciri
pendidikan tradisional yang sangat menonjol adalah lebih betumpu perhatiannya
terhadap ilmu-ilmu keagamaan semata dengan mengabaikan ilmu-ilmu modern
sedangkan sistem pendidikan modern hanya menitik beratkan ilmu-ilmu modern
dengan mengabaikan Ilmu-ilmu keagamaan. Proses ini mulai dilakukan di
rumah-rumah, kuttab, sallon, masjid dan madrasah ilmu yang diajarkan seputar
pengajaran ilmu keagamaan. Dalam konteks Islam “keindonesiaan” mengenal istilah
pesantren. Tempat para santri menimba ilmu agama. Perkembangan lembaga-lembaga
pendidikan pada masa awal ini tidaklah mengherankan karena para pendahulu (
penyebar agama Islam) ingin berusaha memadukan konteks “keindonesiaan dengan
keislman”. Kemudian berkembang menjadi pesantren-pesantren yang ada di
Indonesia. Namun seiring kemajuan zaman, modernisasi pendidikan Islam mulai
tampak dengan munculnya bentuk-bentuk madrasah, sebagai pengembangan dari
system pesantren.
2.
Metodologi Pemikiran Pendidikan Islam Tradisional.
Tradisional
dipahami dengan sifat konservatif atau mempertahankan yang lama. Ia hanya
melihat sejarah masa lalu sebagai inspirasi atau sesuatu yang harus
dipertahankan. Akar teologis pemikiran tradisonalis adalah manusia itu harus
menerima segala ketentuan dan rencana Tuhan yang telah dibentuk sebelumnya
(Qodlo dan Taqdir). Meskipun manusia didorong untuk berusaha namun akhirnya
Tuhan jualah yang menentukan hasilnya ( Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok :
2000, 195 ).
Ilmu
pengetahuan dalam presfektif Islam berasal dari Tuhan. Jika terdapat perbedaan
antara penginderaan (empiris-realis) dengan wahyu, maka pemikir Islam akan
lebih mempercayai dan mandahulukan otoritas kebenaran wahyu daripada hasil penginderaan,
karena kebenaran wahyu dianggap sebagai kebenaran sejati dan mutlak. Di samping
itu, Islam klasik memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang utuh
(Whole),terpadu (integrated), dan tersintesiskan (synsthesized) sehingga
membentuk suatu harmoni. ( Hanun Asrohah : 2007). Pada masa Islam Klasik
pendidikan dikelompokkan dalam dua kategori yaitu lembaga formal yang
bercirikan eksklusif (sekolah dan universitas) dan lembaga sampingan (informal)
(kuttab, masjid rumah ulama dan lain-lain) dengan cirinya bebas (Zuhairini,
1997).
Kedua
lembaga ini bersifat Teacher oriented yang memberikan peran yang sangat besar
pada guru, termasuk dalam penentuan materi dan pemberian Ijazah. Wajar bila ada
siswa memiliki ijazah lebih dari satu baik dalam satu bidang studi maupun
berbagai bidang studi. Dengan ijazah ini mereka memiliki hak mengajar orang
lain. Dari ijazah yang diperolehnya dapat dijadikan indikasi seberapa kualitas
mutu ilmu seorang guru dan dengan siapa ia berguru apakah ia ulama terkenal
atau tidak. Kurikulum di lembaga pendidikan Islam masa itu tidak menawarkan
berbagai macam bidang studi atau mata pelajaran. Dalam suatu jangka waktu,
pengajaran hanya mengajarkan satu mata pelajaran yang harus diselesaikan oleh
siswa. Sesudah materi itu selesai, siswa dapat mempelajari materi lain atau
materi yang lebih tinggi tingkatannya. Pelaksanaan proses belajar mengajar
sepenuhnya tergantung pada guru yang memberikan materi pelajaran (Hanun
Asrohah, 1999).
Ada
beberapa karekteristik pemikiran pendidikan Islam tradisional yang bisa
diungkap dalam konteks sejarah yaitu :
a.
Orientasi Pendidikan Adalah Mengemban Misi Suci.
Orientasi
pendidikan adalah mengemban tugas suci, menyebarkan agama. Titik tolak ini
berkembang dari para sahabat sampai pada penyebar agama Islam awal termasuk di
Indonesia. Para Wali (wali sanga) menyebarkan Islam di Indonesia berawal dari
panggilan suci, menyampaikan amanat sehingga tujuan akhir yang ingin dicapai
adalah mardlotillah, ridlo Allah SWT. Manusia pada satu sisi sebagai hamba
Tuhan yang berbanding sejajar dengan makhluk lain – dengan segala bentuk
ritualnya masing-masing -, pada sisi lain sebagai puncak ciptaan Tuhan manusia
mengusung misi suci berdasarkan visi yang telah digariskan Tuhan sebagai
“khalifah” (QS Al-Baqoroh : 30) (Jalaluddin dan Usman Said 1994; 108).
b.
Melestarikan ajaran Islam.
Islam
bisa berkembang dan bertahan karena pemeluknya berupaya untuk melestarikan
ajarannya. Salah satu untuk melanggengkan ajaran Islam adalah dengan proses
pewarisan ajaran, budaya, adat istiadat masyarakat beragama. Proses ini bisa
dijalani melalui pendidikan karena pendidikan itu sendiri merupakan sarana atau
wadah dalam rangka proses pentransferan nilai-nilai relegius. Melestarikan
ajaran adalah tugas setiap muslim. Tugas yang diemban didasarkan pada panggilan
suci untuk mewariskan nilai-nilai relegius pada generasi selanjutnya. Proses
pelestarian ajaran Islam ini tidak hanya dilihat dari segi keilmuan saja tetapi
juga dari pembentukan etika dan akhlak. Penanaman akhlak adalah suatu hal yang sangat
penting dalam pewarisan dan pelestarian ajaran Islam ini. Tidak heran para
peserta didik masa tradisional ini sangat santun baik kepada orang tua,
lingkungan apalagi kepada para gurunya. Adab, etika sopan santun dijadikan alat
untuk menentukan keberhasilan peserta didik.
c.
Penguatan Doktrin Tauhid
Seting
masyarakat masa itu belum mengenal Islam sehingga penyampaian nilai-nilai agama
sangat sederhana. Sosio-kultur masih diwarnai dengan adat-istiadat setempat
yang masih (di Indonesia) beragama Hindu, Budha, animisme dan diamisme. Tidak
jarang penyebar agama Islam memakai pendekatan “culture approach”. Pendekatan
budaya sebagai konsekwensi dari keadaan kultur masyarakat dimana para penyebar
Islam awal berdakwah merupakan keniscayaan. Hal ini dilakukan karena pada
awal-awal-awal penyebaran agama Islam, masyarakat masih memeluk agama dan
kepercayaan setampat. Penguatan doktrin agama dengan menanamkan aqidah-tauhid
menjadi garapan pertama di awal-awal pendidikan. Doktrin baru dengan
meng”Esakan” Tuhan inilah yang diajarkan Nabi selama belasan tahun di Mekkah.
Demikian pula pola dan metode yang dilakukan di Indonesia. Usaha ini sekaligus
bertujuan untuk memperkokoh dimensi-dimensi keimanan.
d. Terfokus
pada Pendidikan Keilmuan Islam.
Salah
satu metode berfikir masyarakat tradisional Islam pada waktu itu adalah
bagaimana mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada generasinya. Sehingga di
tempat-tempat halaqoh yang diajarkan adalah terfokus pada ilmu-ilmu keislaman.
Pendidikan tradisional belum menambahkan ilmu-ilmu yang berdimensi keduniaan.
Masih seputar Al-Qur’an, Tarikh, Fikih, ibadah dan ilmu Islam lainnya. Usaha
ini dilakukan Karena pada dasarnya umat pada waktu itu hanya ingin mentransfer
melestarikan ajaran Islam yang luhur. Pendidikan akhlak sebagai inti dari semua
materi keilmuan Islam memainkan peranan yang sangat dominant. Sehingga para
peserta didik memiliki ahklak yang bermanfaat terhadap lingkungan baik
keluarga, tempat belajar maupun untuk pribadinya sendiri.
e.
Pendidikan Terpusat pada guru
Dalam
deskriptif aliraan tradisoanl guru menjadi pusat dalam proses belajar mengajar.
Guru sebagai tokoh sentral dalam usaha pentransferan ilmu pengetahuan, sebagai
sumber ilmu pengetahuan, serba tahu sehingga gambaran mengenai guru adalah
sosok manusia ideal yang selalu berwatak dewasa dan semua tingkah lakunya harus
digugu dan ditiru oleh para peserta didiknya. Istilah yang dipakai dalam
pendidikan Islam tradisional ini adalah syeikh, ustadz, kyai.
f.
Sistem Pembelajaran.
Sistem
belajarnya memakai halaqoh, bekumpul, mengelompok setelah itu maju satu
persatu. Sehingga bisa dikatakan bahwa sistem yang dijalankan dengan memakai
dua pendekatan, kelompok dan individual. Dalam istilah pesantren ada sorogan
dan bandongan. Sistem sorogan lebih berorientasi pada pendekatan individual,
bimbingan pribadi sedangkan system bandongan adalah bimbingan kelompok.
g.
Metode Mengajar
Metode
yang sering digunakan dalam proses belajar mengajar adalah metode ceramah.
Metode ini paling dominan digunakan dengan diselingi dengan metode imla’, mencatat.
Dominannya metode ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama perkembangan
pendidikan belum semodern sekarang, kedua sarana prasarana masih sangat
sederhana, ketiga saat itu metode ini sangat effektif dan efesien, keempat
tidak memerlukan waktu untuk persiapan mengajar tergantung kelihaian guru.
Metode
ceramah adalah dengan cara penyampaian informasi berupa ilmu pengetahuan
melalui penuturan secara lisan oleh pendidik kepada peserta didik. Banyak
sekali di dalam Al-Qur’an yang mengemukakan hal ini, diantaranya dalam surat
An-Nahl 64 :
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya : Dan Kami
tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ( Moh. Rifa’i, 1991 ;246)
2. Pendidikan Islam Modern
Paradigma
baru pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang terus menerus
harus dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali pendidikan IPTEK,
akan tetapi tidak melupakan pendidikan agama, sebagaimana zaman keemasan dulu.
Pencarian paradigma baru dalam pendidikan Islam di mulai dari konsep manusia
menurut Islam, pandangan Islam terhadap IPTEK, dan setelah itu baru dirumuskan
konsep atau sistem pendidikan Islam secara utuh.
Prinsip-prinsip lain dalam paradigma baru pendidikan Islam yang ingin dikembangkan adalah: tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama; ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas di nilai; mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional, melainkan sisi rasional.
Masalah pendidikan memang tidak akan pernah selesai dibicarakan oleh siapapun.
Hal ini setidak-tidaknya didasarkan pada beberapa alasan: pertama, merupakan
fitrah orang bahwa mereka menginginkan pendidikan yang lebih baik, sekalipun
mereka kadang-kadang belum tahu sebenarnya mana pendidikan yang lebih baik itu.
Karena sudah fitrahnya, sehingga sudah menjadi takdirnya pendidikan itu tidak
pernah selesai. Gagasan tentang no limit to study atau life long education
merupakan implikasi praktis dari fitrah tersebut. Kedua, teori pendidikan akan
selalu ketinggalan zaman, karena ia dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat
yang selalu berubah pada setiap tempat dan waktu. Karena adanya perubahan itu
maka masyarakat tidak pernah puas dengan teori pendidikan yang ada. Ketiga,
perubahan pandangan hidup juga ikut berpengaruh terhadap ketidakpuasan
seseorang akan pendidikan.
Pendidikan dalam pengertian yang lebih luas dapat diartikan sebagai suatu
proses pembelajaran kepada peserta didik (manusia) dalam upaya mencerdaskan dan
mendewasakan peserta didik tersebut. Dalam hubungannya ini dapat dipastikan
bahwa pendidikan itu tidak hanya menumbuhkan, melainkan mengembangkan ke arah
tujuan akhir. Juga tidak hanya suatu proses yang sedang berlangsung, melainkan
suatu proses yang berlangsung ke arah sasarannya. Sedangkan “Pendidikan Islam
adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Islam adalah nama agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Islam berisi seperangkat ajaran tentang
kehidupan manusia, ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada
al-Qur’an dan hadits.”
Ilmu pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi
tentang proses kependidikan yang didasarkan pada nilai-nilai filosofis ajaran
berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dengan redaksi yang sangat
singkat, ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Kata “Islam” yang berada di belakang “pendidikan” selain menjadi sumber
motivasi, inspirasi, sublimasi dan integrasi bagi pengembangan bagi ilmu
pendidikan, juga sekaligus menjadi karakter dari ilmu pendidikan Islam itu
sendiri. Ilmu pendidikan Islam yang berkarakter Islam itu adalah ilmu
pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam
Al-Qur`an dan Sunnah.
Pendidikan Islam adalah sebuah sarana atau pun furshoh untuk menyiapkan masyarakat muslim yang benar-benar mengerti tentang Islam. Di sini para pendidik muslim mempunyai satu kewajiban dan tanggung jawab untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lain. Pendidikan Islam lebih mengedepankan nilai-nilai keislaman dan tertuju pada terbentuknya manusia yang ber-akhlakul karimah serta taat dan tunduk kepada Allah semata. Sedangkan pendidikan selain Islam, tidak terlalu memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman, yang menjadi prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan inderawi semata.
Pendidikan
Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan yang sifatnya
aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam bidang
teknologi. Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan
Islam seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi,
ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu,
menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau berpartisipasi banyak dalam
agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama, begitu juga sebaliknya.
Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif (bagaimana
seharusnya), sedangkan sains meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana
adanya). Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam Phobia dan
merasa sains bukan urusan agama begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini ada
pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang
dianggap hanya berorientasi dunia saja. Di sini sangat jelas pemisahan dikotomi
ilmu tersebut.
Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan urusan agama dan dunia. Dalam
Islam, agama mendasari aktivitas dunia, dan aktivitas dunia dapat menopang
pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan hanya sekedar mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat pada agama lain, melainkan juga mengatur
hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia. Islam adalah agama
yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW
sebagai rasul. Islam pada hakikatnya, membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya
mengatur satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber
dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Qur`an dan
al-Sunnah.
Apabila ingin merekonstruksi pendidikan Islam di era modern ini, persoalan
pertama yang harus di tuntaskan adalah persoalan “dikotomi”. Artinya harus
berusaha mengintegrasikan kedua ilmu tersebut baik secara filosofis, kurikulum,
metodologi, pengelolaan, bahkan sampai pada departementalnya. Perubahan
orientasi pendidikan Islam harus dilakukan yaitu “bukan hanya bagaimana membuat
manusia sibuk mengurusi dan memuliakan Tuhan dengan melupakan eksistensinya,
tetapi bagaimana memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dengan
eksistensinya di dunia ini. Artinya, bagaimana pendidikan Islam harus mampu
mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin sehingga menghasilkan manusia
yang memahami eksistensinya dan dapat mengelola dan memanfaatkan dunia sesuai
dengan kemampuannya.
Dengan dasar ini, maka materi pendidikan Islam harus di
desain untuk dapat mengakomodasi persoalan-persoalan yang menyangkut dengan
kebutuhan manusia, yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, teknologi,
seni serta budaya, sehingga mampu melahirkan manusia yang berkualitas, handal
dalam penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, unggul dalam moral yang di
dasarkan pada nilai-nilai ilahiah sebagai produk pendidikan Islam. Dengan kata
lain pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, akan menghasilkan ilmuan yang
tidak hanya unggul dalam ilmu sains akan tetapi juga ilmuan yang tahu posisinya
sebagai khalifah di muka bumi, yang bertakwa kepada Allah SWT, serta
menjalankan apa yang diperintah dan menjauhkan apa yang dilarang oleh-Nya.
Dalam kehidupan sosial, institusi pendidikan baik umum maupun Islam, mendapat tugas suci untuk mengemban misi mulia agar membenahi kualitas hidup manusia jadi lebih baik. Suatu misi (risalah) kemanusiaan yang sangat bermanfaat dalam rangka membentuk sikap mental lulusan yang berperadaban dan menjunjung tinggi nilai insani.
Pendidikan Islam harus menjadi kekuatan (power) yang ampuh untuk menghadapi wacana kehidupan yang lebih krusial. Refleksi pemikiran dan rumusan persoalan pendidikan Islam harus bernafaskan kekinian (up to date). Jika dipandang secara historis, memang adanya suatu kejadian yang telah lalu, dapat dijadikan sebuah pelajaran untuk menjadi lebih baik lagi, tapi jangan sampai melupakan perhatian yang perlu diberikan di masa kini dan masa mendatang.
Pendidikan Islam harus menjadi terobosan baru untuk membentuk pola hidup umat yang lebih maju dan terbebas dari kebodohan dan kemiskinan. Sebab secara filosofi yang sudah tidak asing lagi untuk diketahui bahwa antara kebodohan dan kemiskinan itu merupakan dua sifat manusia yang mengkristal dan menjadi musuh bebuyutan pendidikan.
Nah, ni dia kesimpulannya ;
Ada
beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan metodologi pemikiran pendidikan Islam
dalam pemahaman masyarakat tradisional yaitu sebagai berikut :
1.
Tenaga pendidik, mereka adalah orang-orang yang tidak meminta imbalan jasa,
tidak ada spesifikasi khusus dalam keahlian mengajar, mendidik bukan pekerjaan
utama, dan tidak diangkat oleh siapapun. Orientasi mereka adalah mengemban misi
suci dan menyampaikan amanah.
2. Mata
pelajaran yang diajarkan terutama ilmu-ilmu yang bersumber kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah, namun dalam perkembangan berikutnya ada bidang kajian lain, seperti:
tafsir, fikih, kalam, bahasa Arab, sastra maupun yang lainnya.
3. Siswa
atau peserta didik, mereka adalah orang-orang yang ingin mempelajari Islam,
tidak dibatasi oleh usia, dari segala kalangan dan tidak ada perbedaaan.
4.
Sistem pengajaran yang dilakukan memakai bentuk halaqah, dengan sistem sorogan
dan bandongan ( istilah di pesantren )
5.
Metode pengajaran (penyampaian materi) yang paling dominan adalah ceramah dan
imla’
6.
Pembelajaran terfakus pada guru., Guru atau pendidik menjadi tokoh sentral
dalam pendidikan tradisonal.
7. Waktu
pendidikan, tidak ada waktu khusus dalam proses pendidikan di masjid, hanya
biasanya banyak dilakukan di sore hari atau malam hari, karena waktu tersebut
tidak mengganggu kegiiatan sehari-hari dan mereka mempunyai waktu yang cukup
luang.
Kesimpulan
dari metodologi pemikiran pendidikan Islam dalam pemahaman masyarakat modern yaitu :
Pertama, pendidikan modern berusaha mengintegrasi-interkoneksi kedua ilmu tersebut baik pada
tingkat metode, kurikulum, filosofinya baik pada departemennya. Kedua, pendidikan
harus mempunyai prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor lain. Ketiga, pendidikan
Islam harus berorientasi kepada pembangunan dan pembaruan, pengembangan
kreativitas, intelektualitas, keterampilan, kecakapan penalaran yang dilandasi
dengan keluhuran moral dan kepribadian, sehingga pendidikan mampu
mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan
paradigma saat ini, sehingga mampu melahirkan manusia yang belajar terus,
mandiri, disiplin, terbuka, inovatif, mampu memecahkan masalah kehidupan, serta
berdaya guna bagi kehidupan diri sendiri maupun masyarakat.
Kemudian yang ke empat,diharapkan
pendidikan yang dikelola lembaga-lembaga Islam sudah harus diupayakan untuk
mengalihkan paradigma yang berorientasikan ke masa lalu (abad pertengahan) ke
paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma
pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis
kemajuan. Demi tegaknya peradaban Islam yang lebih kokoh. Jangan hanya
mengingat kejayaan Islam masa lalu, karena mengingat kejayaan Islam masa lalu,
sama saja seperti obat bius dalam dunia medis yang menghilangkan rasa sakit
untuk sesaat, akan tetapi tidak menyembuhkan sakit itu sendiri.
diolah dari berbagai sumber ;
1.
Muhamad
al-Thumi al-Syaibani, Umar, min usus
al-tarbiyah al-islamiyah, al-Munsya-ah al-Ammah Tripoli libiya, cet : 2,
thn : 1982.
2.
Nasih
Ulwan, Abdullah. Tarbiyatul Aulad. Cet. Ke 2, Darussalam Cairo.
3.
Nawawi,
al-Imam, Muqaddimah al-Majmu` Maktabah al-Balad al-Amin, Cairo,Cet: 1, Thn :
1999
4. Ibrahim, Abdul Mun`im, Al-Bayan Syarhut Tibyan, Maktabah Aulad Al-Syaikh,
Cairo
5. Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li alfadz al-Qur`an
al-Karim, Darul Hadist, Cairo, Thn : 2001
6. Al-Qaradhawi, Yusuf. Tsaqafatul Daiyah, Maktabah Wahbah Cairo, cet :
10, thn : 1996
7. Prof.
Dr. Mastuhu, M.Ed, Memberdayakan SItem Pendidikan Islam, cet, II Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 1999
8. Prof.
Dr. Abuddin Nata, MA, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press,
2009
9. Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam, Cet. I. Bandung; Remaja
Rosdakarya, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar