Inilah sembilan nilai pemikiran Gus Dur yang
sudah semestinya kita teladani. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan
bagi umat dan masayarakat.
Nilai pertama : Ketauhidan
Inilah prinsip dasar yang menjadi basis dari
seluruh pemikiran Gus Dur. Ketauhidan adalah pengakuan manusia bahwa tidak ada
hal yang lebih penting atau segalanya selain peran dan posisi tunggal Tuhan
sebagai sang Maha segalanya di semesta ini. Prinsip ketauhidan ini membawa
konsekuensi riil seperti yang berhak menentukan baik dan buruk, benar dan salah
adalah hak prerogatif Tuhan. Manusia tidak boleh dan tidak akan bisa mendikte
Tuhan untuk begini dan begitu. Jika anda beriman, berbuat baik, bagus ritual
dan sosialnya, itu semua tidak menjadikan wajib bagi Tuhan untuk memasukkan
anda kedalam surga. Sekali-kali tidak. Tuhan bebas untuk melakukan apapun yang
Dia mau.
Hebatnya, konsepsi tauhid ini tidak hanya
bisa dipahami dan digunakan oleh muslim sendiri. Sebagai contoh, bnyak sarjana
kristen yang mengakui bisa mendalami kekristenan mereka setelah belajar dan
memahami tauhid. Mereka itu seperti Louis Massignon, W.C. Smith, Kenneth Cragg,
Hans Kung dan Bijlefeld (selengkapnya baca bukunya Alwi Sihab, Islam Inkusif, terbitan
Mizan). Belajar dari situ, salah satunya bisa kita pahami kemudian kenapa Gus
Dur bisa demikian inklusif. Ketauhidan tidak akan pernah bisa memberikan ruang
untuk fanatisme buta (yang berarti menganggap diri mutlak yang paling benar
dalam beragama), tapi tauhid memberi landasan kuat untuk beragama dan bergaul
dengan ramah dengan yang lain.
Nilai kedua: Kemanusiaan
Mengapa Gus Dur membela Ahmadiyah? Membela
Inul, Dorce dan kaum Tionghoa? Mbak alisa berhusnudhon bahwa bukan Inul, Dorce
dan Ahmadiyah serta Tionghoa-nya yang dibela, tapi kemanusiaan mereka lah yang
memanggil Gus Dur untuk membela tanpa reserve. Harus diakui bahwa kita beragama
itu cenderung mengedepankan dogma, bukan realitas kemanusiaan itu sendiri.
Maka tidak heran, ada orang “saleh”, rajin
shalat dan baca qur’an, tapi gemar memukuli orang yang buka warung di siang
hari di bulan puasa. Logika kemanusiaan yang hilang diganti dengan seperangkat
doktrin, sehingga keamaan mereka menjadi kering dan terkadang asosial. Gus Dur
memberikan kita contoh, bahwa kemanusiaan adalah hal yang fundamental dalam
hidup. Sebab dari situ kita bisa belajar untuk memahami dan menerima orang lain
dengan terbuka. Gus Dur mengajari kita untuk memanusiakan manusia, bukan
menganggap mereka seperti binatang yang bisa kita pukuli, grebek dan bahkan
dibunuh sesuka kita.
Nilai ketiga: Keadilan
Adakah yang lebih dibutuhkan manusia dalam
hidupnya selain keadilan? Tidak ada yang menolak itu. Itulah kenapa, sebagai
contoh, Gus Dur mau berlelah-lelah membela kaum minoritas. Gus Dur berusaha
memberi keseimbangan diantara sekian banyak problem mayoritas vs minoritas di
negeri ini. Buat Gus Dur, mayoritas tidak boleh berwatak minoritas, dan
sebaliknya minoritas tidak boleh berwatak minoritas.
Karena jika itu yang muncul, akan muncul
ketidak-adilan yang hanya mendasarkan diri pada logika golongan masing-masing.
Prinsip keadilan mensyaratkan keseimbangan perang antara mayoritas dan
minoritas. Tak heran kemudian Gus Dur terkenal sebagai tokoh pluralisme, yang
tidak pernah mau tersekat dalam kotak sempit identitas, tapi aktif menjalin
komunikasi dan sinergi dengan semua entitas luar. Tentu saja, kerjasama ini
dilandasi untuk memperoleh keadilan yang benar-benar bisa diterima oleh semua
golongan.
Nilai keempat: Kesetaraan
Ada cerita dari mbak Alisa, ketika Gus Dur
masih menjadi Ketua Umum PBNU, beliau pernah sowan kepada seorang kiai di
cirebon. Disana, sang kiai ternyata tidak hanya memberikan wejangan, tapi sang
kiai juga bersungguh-sungguh meminta Gus Dur untuk menikahi salah seorang
putrinya. Sebelum memberikan jawaban, Gus Dur meminta ijin untuk pamit mencuci
tangan ke belakang. Ternyata itu hanya akal bulus Gus Dur, beliau ternyata
langsung nggeblas, pergi tanpa pamit sama sang kiai.
Di kemudian hari, mbak alisa memahami bahwa
Gus Dur ini ternyata tidak mau berpoligami karena menganggap bahwa posisi
laki-laki dan perempuan itu setara. Sehingga kalau Gus Dur berpoligami, beliau
menganggap bahwa itu sudah bentuk ketidaksetaraan. Maka karena tidak enak untuk
menolak permintaan kiai dari Cirebon itu, Gus Dur memilih untuk pergi tanpa
pamit.
Nilai kelima: Persaudaraan
Kenapa persoalan Papua di jaman SBY ini
menghabiskan dana begitu besar tapi masih dengan hasil yang kabur dan bahkan
semakin parah? Jawabannya, SBY harus meneladani Gus Dur dalam merangkul orang
papua. Gus Dur tidak membutuhkan dana besar untuk meredam pergolakan disana.
Gus Dur hanya mengembalikan nama Papua, membolehkan mereka mengibarkan bendera
bintang kejora (Gus Dur menyamakan status bintang kejora dengan bendera GP
Ansor, boleh dikibarkan berjejeran dengan Merah Putih asalkan lebih rendah dari
sang Saka). Dan pendekatan beliau ini lebih efektif dalam mengambil hati
orang-orang Papua, karena Gus Dur menganggap mereka sebagai saudara sebangsa
yang memang punya hak untuk menyuarakan aspirasinya.
Harus jujur diakui, benarkah kita menganggap
orang papua sebagai saudara kita sebangsa dan setanah air? Kalau sudah,
seberapa perduli kita dengan persoalan mereka? Jawabannya akan terlalu sedikit.
Kita kebanyakan hanya peduli kalau Papua harus terus jadi bagian NKRI karena
ada tambang emas dan kekayaan alam dan budaya tak terhingga, atau karena begitu
banyaknya talenta emas orang papua dalam sepakbola misalkan. Kita masih kurang
peduli dengan betapa rendahnya tingkat pendidikan disana, dan betapa mahalnya
biaya hidup disana. Kita juga tidak begitu mengetahui betapa menderitanya
rakyat papua yang tercerabut dan merasa terasing di tanahnya sendiri, karena
begitu banyaknya pendatang yang menguasai segala lini kehidupan mereka,
terutama dalam bidang politik dan ekonomi.
Nilai keenam: Pembebasan
Ketika Gus Dur menjadi ketua umum PBNU,
selain dengan mencontohkan sendiri, beliau juga aktif mendorong dan membebaskan
banyak sekali anak muda NU untuk berekspresi dan berkarya tanpa harus takut
dengan otoritas-otoritas jam’iyyah semacam yang dipunyai para kiai sepuh. Gus
Dur rela menjadi penjamin, pembela dan pelindung mereka dalam menghadapi setiap
tekanan yang datang. Buah dari itu bisa kita lihat sekarang, dimana orang muda
NU tidak malu lagi untuk menunjukkan identitas ke-NU-annya, hal yang dulu
sangat jarang dilakukan jaman orde baru. Banyak intelektual muda NU yang
menjadi akdemisi, pegiat LSM, birokrat dan juga politikus yang mewarnai
kebangsaan kita sekarang. Harus diakui, hal ini tidak akan mungkin terjadi
tanpa contoh dan dukungan Gus Dur ketika itu.
Nilai ketujuh: Kesederhanaan
Budayawan Ahmad Tohari bercerita langsung
kepada penulis dulu di Banyumas, tentang kesederhanaan Gus Dur ketika menginap
di rumah kang Tohari. Gus Dur tidak pernah betah tidur di atas bed, sehingga
beliau selalu minta untuk digelarkan karpet di lantai untuk tidur beliau.
Menurut beliau, Gus Dur memberikan contoh nyata bagaiamana kita bersikap
sederhana dan tidak mau merepotkan orang rumah. Padahal, Gus Dur adalah tokoh
nasional, tetapi jiwa kesederhanaannya tak pernah luntur. Selain itu,
slogan Gitu aja kok repot! juga mencerminkan watak Gus Dur yang tidak
mau memperumit masalah. Mungkin, ini sejalan dengan prinsip nabi Yassiruu
walaa tu’assiruu, masalah itu seharusnya disederhanakan dan dipermudah, bukan
malah dipersulit.
Nilai kedelapan: Ksatria
Ketika menjadi ketua Umum PBNU (dan
ditindaklanjuti dengan keinginan untuk mencabut Tap MPRS yang mengatur tentang
larangan ajaran komunisme dan leninisme di Indonesia sewaktu beliau menjadi
Presiden), Gus Dur menyatakan permohonan maaf kepada semua kelompok yang
menjadi korban yang dituduh sebagai eks PKI. Mengapa Gus Dur seberani itu?
Karena Gus Dur mengerti sejarah dulu, dimana banyak orang-orang NU (khususnya
Ansor) yang membantai dan membunuhi orang-orang PKI pada tahun 66-67. Gus Dur
berinisiatif memohon maaf, karena memahami seberapapun benar alasan orang NU
dulu, tindakan pembunuhan itu tidaklah etis untuk ditutup-tutupi.
Gus Dur mengajarkan kita untuk bersikap
ksatria, mengakui kesalahan kita dan mau memohon maaf kepada sang korban. Tentu
pertimbangan Gus Dur tidaklah sesederhana ini, tapi minimal beliau memberika
kita contoh konkrit tentang sikap ksatria, meskipun kemudian beliau harus
menghadapi gelombang protes dan bahkan konflik berkepanjangan dengan paman
beliau, almarhum Pak Ud atau KH Yusuf Hasyim dari Tebuireng.
Nilai kesembilan: Kearifan lokal
Nilai tearkhir ini, membuat Gus Dur kelihatan
sebagai orang yang luwes, dimanapun beliau berada, beliau tidak pernah terlihat
kaku apalagi minder dengan sekitar. Ini memberi kita contoh dua hal. Pertama,
banggalah menjadi diri sendiri. Gus Dur dimana-mana selalu pakai peci,
berbicara dengan gaya bahasa dan pemikiran beliau. Beliau tidak harus repot mengikuti
protokol istana yang super rumit, beliau bebas mengekspresikan diri dimanapun
dan kapanpun karena beliau mengerti identitas dan watak beliau sendiri. Kedua,
hormati nilai-nilai disekitar anda hidup. Gus Dur luwes bergaul dengan
siapapun, tidak repot dengan kondisi sekitar, dan menghormati budaya lokal.
Demikianlah bebarapa nilai dari pemikiran Gus Dur yang menjadi bahan untuk menjembatani antara kita dengan berbagai pemikiran Gus Dur yang sering kali dianggap unik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar