Satu, timbulnya
pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan
pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan
pluralisme relativisme kebenaran. Dua, meledaknya industri media massa,
sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita,
yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu,
kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler,
dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional,
tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi. Tiga,
munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga
sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap
kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya
untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan. Empat,
munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta
keterikatan rasionalisme dengan masa lalu. Lima, semakin menguatnya
wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan
sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara
maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang
menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”. Enam, semakin terbukanya
peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara
lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi
proses demokratisasi. Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan
munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari
berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit
untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Delapan,
bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan
ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era
postmodernisme” banyak mengandung paradoks.
Sedangkan menurut Pauline Rosenau mengatakan
bahwa, postmodernisme menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal
penting antara lain :
Pertama, modernisme
gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para
pedukung fanatiknya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu
melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti
tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian. Ketiga,
ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu
modern. Keempat, ada semacam keyakinan yang sesungguhnya tidak berdasar, bahwa
ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia
dan lingkungannya. Ternyata keyakinan ini keliru manakala kita
menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi
menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan Kelima,
ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik
eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Postmodernisme muncul untuk “meluruskan”
kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme
menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain
(the other) yang berada di luar wacana hegemoni.
Postmodernisme mencoba mengingatkan kita
untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman
perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses
sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk
tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas
dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur
vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek
pelecehan saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya
sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak
kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat
hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti
yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana
baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak
kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang
saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya,
Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat
keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu:
1. Kapitalisme modern terlalu
tergantung pada otoritas pada teoretisi sosial-ekonomi seperti Adam Smith,
J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan
postulasi teoritis untuk secara sewenang-wenang merancang skenario bagi
berlangsungnya prinsip kapitalisme;
2. Modernisme memahami
perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai suatu
gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan
gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen,
dan
3. Erat kaitannya dengan
kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah, ekonomi modern
cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspek noble material dan
mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya penyelesaian
krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi
adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap
persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan
homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi
oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Marxisme Barat, struktualisme
Prancis, nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.
Heterogenitas inilah yang barangkali
menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam
wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat
dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan
solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan
lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk
lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara
sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.
Postmodernisme dan kritik
Jika kita
melihat dan menelaah konteks politik hari ini, masalah postmoderrnisme juga
kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaaki semua
Negara menerapkan sistem demokrasi. Namun demokrasi yang diperjualbelikan
adalah demokrasi ala Amerika yang konon katanya paling demokratis. Amerika
serikat juga didaulat, jika tidak pantas disebut mendaulatkan diri, sebagai
Negara penjunjung tinggi HAM.
Untuk
dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka sistem demokrasi
harus dianut terlebuh dahulu. Jadi, Negara manapun yang ingin menghargai Hak Azasi
warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala Amerika Serikat. Sebab Amerika
Serikat lagi-lagi dianggap sebagai Negara terdepan pengimplementasi demokrasi.
Hal tersebut kemudian lebih ditekankan lagi dalam peraturan lembaga
internasional (United Nation). Semua Negara yang menjadi anggota United nation
diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM.
Tidak ada
masalah jika Negara anggota United Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM.
Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi dianggap satu-satunya jalan untuk
menjunjung tinggi HAM. Secara tidak langsung, mereka telah menafikan sistem
lain seperti Kerajaan Khilafah dan sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi
merupakan satu-satunya jalan, maka Negara yang ingin menjunjung tinggi HAM
harus pula menganut sistem demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau
menjunjung tinggi HAM (menganut demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh
lembaga tertinggi dunia tersebut. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari
embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan umat manusia.
Para
postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut sebagai akibat dari
modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu cirri penting, yaitu
universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter
penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti salah).
Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka sesuai
dengan prinsip oposisi biner, semua sistem diluar itu adalah salah.
Postmodernisme
lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek mahabesar modernism tersebut.
Universalisme yang ditawarkan oleh modernism tidak mungkin bias tercapai, sebab
dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan keanekaragaman baik dalam hal ekonomi,
social, politik dan terlebih lagi budaya. Merupakan sebuah kemustahilan
jika kita ingin membuat semua Negara yang penuh dengan warna dan perbedaan
tersebut hidup dengan satu cara yang sama.
Berkaitan
dengan masalah HAM juga demikian halnya. Amerika serikat mengaku sebagai
penjunjung tinggi Ham, tetapi mereka pulalah yang membunuh puluhan bahkan
ratusan ribu rakyat sipil di Irak. Amerika pulalah yang membuat dan
menghidupkan penjara Guantanamo, yang notabene pelanggaran besar terhadap HAM.
Dengan label menjunjung tinggi HAM pulalah, amerika serikat kerap melakukan genosida
(pembunuhan secara massal). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dimana HAM
yang dijunjung tinggi tersebut.
Selain hal
tersebut diatas, satu karakter penting modernism yang dikritik oleh
postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam dunia
ini. Akan tetapi semuanya memiliki kebenaran masing-masing. Contoh yang paling
sering diangkat oleh para postmodernis adalah masalah budaya dan agama. Semua
budaya yang terdapat dimuka bumi ini memiliki cerita dan makna masing-masing.
Demikian juga halnya dengan agama, semua punya kebenaran tersendiri. Tidak ada
agama yang salah dan agama yang benar, namun semua agama memiliki dan membawa
kebenarannya.
Demikian
jugalah pula dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap Negara. Demokrasi
yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran, tetapi sistem kerajaan
yang dianut oleh Inggris juga mempunyai kebenarannya sendiri. Begitu juga
dengan sistem politik di Negara atau daerah lain (politik local / identitas
misalnya) mempunyai kebenaran tersendiri lagi.
Untuk
mengatasi semua perbedaan dan banyaknya kebenaran yang ada tersebut. Maka
postmodernisme menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi. Bahwa semua bias
hidup dalam keberagaman, yang dibingkai dalam prinsip Multikulturalisme. Atau
jika kita melihat Negara Indonesia misalnya, ada istilah Bhineka Tungggal Ika
(walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua).
Akhir kata
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern
secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama,
postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya
memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu
yang diasosiasikan dengan modernitas: akumulasi pengalaman peradaban Barat
adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa,
kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern
seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal,
toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi,
prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang
biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi,
totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan
atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka
(modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan
penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada
penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan
postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat,
setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak
postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu
berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan
fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi,
pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi,
magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat,
dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang
pertukaran simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan
modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin
akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian
sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas
tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama.
Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi
sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus
akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang
postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu
pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung
lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti
(core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian
mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8)
bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa
yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan,
ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan,
ketradisionalan, kesintingan, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan,
keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran,
diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan. Dari beberapa pendapat tersebut di
atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari
determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity).
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan
postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan,
kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah
tingkatan hierarkis, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal
kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh
pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti
pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi
ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman. Postmodernitas adalah
modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang
direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan
kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup
dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa
objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas
mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain,
postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia
buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga
kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah
pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut
sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun
atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh
superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau
pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas,
akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya
teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh
teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.
Daftar Pustaka
Agger,
Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya.
Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed,
Akbar
S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan
Bagi Islam.
Mizan: Bandung
Jones,
Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga
Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Ritzer,
George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan
Kreasi Wacana: Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar