Apa itu Posmodernisme?. Istilah Postmodernisme sangat membingungkan,
bahkan meragukan. Asal usulnya adalah dari wilayah seni : Musik, seni rupa,
roman dan novel, drama, fotrografi, arsitektur. Dan dari situ merembet menjadi
istilah mode yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu. Dan akhirnya
istilah itu oleh filosof Prancis, Jean-Francois Lyotard, dimasukkan ke
dalam kawasan filsafat dan sejak itu diperjualbelikan sebagai sebuah “isme”
baru.
Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena
memberikan kesan bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham
tertentu, seperti Marxisme, eksistensialisme, kritisisme,
idealisme, dan lain-lain. Padahal para pemakai label itu biasanya tidak
berbicara tentang “postmodernisme”, melainkan tentang “pemikiran pascamodern”.
Misalnya Rorty atau Derrida, amat beraneka ragam cara pemikirannya. Di
Indonesia, sesuai kebiasaan, kita malah malas mengungkapkan seluruh kata
“postmodernisme” dan menggantikannya dengan “posmo”. Sesuai
dengan gaya berfikir mitologis dan parsial dimana yang penting simbolnya saja,
bukan apa yang sebenarnya dimaksud.
Padahal pemikiran “posmo” itu ada banyak dan
tidak ada kesatuan paham. Namun benar juga, ada sesuatu yang mempersatukan
pendekatan-pendekatan itu, atau lebih tepatnya ada dalam filsafat modern salah
satu kecenderungan yang muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, namun ada kesamaan
wujudnya, dan barangkali itulah kesamaan segala macam gaya berfikir yang
ditemukan unsur “posmo”- nya itu.
Dapat dikatakan bahwa “postmodernisme” lebih
merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah
pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat ekspresi melalui
pelbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lian. Adalah jasa
istilah “postmodernisme” bahwa dengan demikian kita memperoleh sebuah payung
konseptual untuk melihat kesamaan di antara mereka itu yang umumnya justru
mencolok ketidaksanaannya.
Untuk
menghindari kebingungan yang lebih lanjut, maka penulis akan membahas
postmodernisme secara lebih gamblang dalam pembahasan makalah ini. Setidaknya
ada tiga unsur atau elemen yang akan dibahas lebih rinci dalam pembahasan
nanti. Yang pertama adalah mengenai sejarah ataupun konsep dasar dari
postmodernisme itu sendiri. Yang kedua adalah mengenai ciri atau indikator
daripada postmodernisme. Serta yang ketiga adalah mengenani fenomena faktual
yang terkait dengan postmodernisme.
Sejarah Posmodernisme
Miletos, kota kecil di
gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat bermulanya cerita besar
tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota itulah sebermula runtuhnya
mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel ataupun kepercayaan.
Sejak saat itu manusia serta-merta memberontak dari kungkungan kebudayaan
mitologis dan berusaha menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia.
Sejarah penaklukan alam
dibawah tatapan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani,
mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu
sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran sang
guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut Plato, manusia
terdiri dari tiga tingkatan fungsi yakni,
tubuh (epithymia), kehendak (thymos) dan rasio (logos).
Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus mengatur dan melingkupi
fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato tentang manusia ini membawanya pada
konsepsi negara ideal yang analog dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia.
Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio). Kedua, para prajurit (analog
dengan kehendak). Ketiga, para petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Harun
Hadiwijono, 1994: 43-44). Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh
keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang
berpijak pada rasio.
Sejarah filsafat berikutnya
bergulir sampai pada satu titik yang memiliki makna penting bagi kelahiran era
modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir
sebagai jawaban terhadap kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans
yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama
yang beku selama abad pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia
nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan
mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat
dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans
dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian benih
Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.
Seorang filsuf besar yang
menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak
Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan
mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes berambisi membangun
metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya,
kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis. Dengan
meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang
tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang
segala sesuatu. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum,
Cogito ergo sum, Aku berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali
lagi diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan
rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern.
Sejarah kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua
filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah
nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan
ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas
(idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern
kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego,
totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi
serta oposisi biner.
Sejarah pemikiran dan
kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk
ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris
yang menghantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu
dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembangnya
teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan
kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya
industri informasi televisi, koran, iklan, film, internet
berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan
pluralisme.
Namun dalam penampilannya
yang mutakhir tersebut, modernisme mulai menampakkan jati dirinya yang
sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis dan justru melahirkan berbagai
patologi modernisme. Modernisme inilah yang telah mencapai status hegemonis
semenjak kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel
Heryanto, 1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat
awal kelahirannya, namun modernisme yang bercorak monoton, positivistik,
teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada
kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa
masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem
produksi.
Unsur-unsur utama
modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru menyebabkan reduksi dan
totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah
memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham
otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi,
penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah
menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi,
rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme,
konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta
ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran
postmodernisme terhadap modernisme.
Jejak-jejak pemikiran yang
bernaung di bawah payung postmodernisme dalam banyak bidang kehidupan:
seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan
filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah
modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru: seni bumi, seni
video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur dekonstruksi,
antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan terhadap
filsafat modern semenjak Nietzsche, Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut
adalah benih-benih lahirnya pemikiran postmodernisme.
Terutama dalam dunia
filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis,
melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya
yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec,
Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984). Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern
semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip
kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah
tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat
demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus di
delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima
keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa
harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan catur,
dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus
mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti dikatakan Susan
Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi lahirnya
sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan
menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau
menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).
Lebih jauh Lyotard
menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut,
totalitas, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya
Grand Narrative telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161).
Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka,
mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.
Dari arah
berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf
Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi
pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan
dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur
yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan
batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan
dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan
disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan
dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis
strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan
antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta
keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis,
kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau
gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah
modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
Strategi yang sarat
emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan
Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan
pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan
modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni dan
pengetahuan ideologis, Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan
adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan.
Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum
Weberian atau Marxian. Kaum Weberian memahami kekuasaan sebagai kemampuan
subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Sementara kaum Marxian memahami
kekuasaan sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk
menindas kelas lain. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang
dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan
lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan.
Kekuasaan tidak dimiliki,
tidak memiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di
mana-mana (Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang
tidak berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault
untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya rasio
tidak universal, karena seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang penyair
Perancis ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni: ironi. Karenanya
Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang universal. Ia
memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak jamak semisal
penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara, pabrik, seks, pasien dan
kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan pilihan ini, sekali lagi
Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang telah diawali oleh
Lyotard dan Derrida.
Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis
dari modernisme. Sementara itu modernisme itu sendiri diartikan oleh
Lyotard (Berstens, 1996) sebagai proyek intelektual dalam sejarah dan
kebudayaan Barat yang mencari kesatuan di bawah bimbingan suatu ide pokok yang
terarah kepada kemajuan dimana “Aufklarung” (masa pencerahan) pada abad ke-18
menandai proyek besar ini.
Sebagai gerakan pemikiran, postmodernisme ‘berhasil’
menawarkan opini, melontarkan apresiasi dan menikamkan kritik yang tajam
terhadap wacana modernitas dan kapitalisme (global) mutakhir. Di tengah
kemapanan dan pesona yang ditawarkan oleh proyek modernisasi dengan
rasionalitasnya, postmodernisme justru ditampilkan dengan sejumlah evaluasi
kritis dan tajam terhadap impian-impian masyarakat modern. Kritik tersebut,
tidak saja mengagetkan dunia publik intelektualitas Barat yang sejak beberapa
abad terbuaikan oleh modernisme yang membius melalui ciptaan sains dan
teknologinya.
Istilah postmodernisme diketahui muncul pada tahun 1917
ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk
menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis
sekitar tahun 1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan
reaksi yang muncul dari modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan
oleh Arnold Toynbee dalam “A Study of History” tahun 1947, dan sekitar
tahun 1970, Ilhab Hasan menerapkan istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur.
Pada akhirnya istilah postmodernisme menjadi lebih popular manakala digunakan oleh
para seniman, pelukis dan kritikus.
Sehingga demikian ada banyak ragam dan terminologi dan
makna dalam istilah postmodernisme tergantung pada wilayah pendekatan yang
berbeda sebagai berikut :
(1) “Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang
saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin bebasnya daya
instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan” (Daniel Bell dalam
“Beyond Modernism; Beyond Self”)
(2) “Logika kultural yang membawa transformasi dalam
suasana kebudayaan umumnya” (Frederic Jameson dalam “New Left Review”
tahun 1984)
Pada perkembangan selanjutnya, istilah postmodernisme
dilembagakan dalam konstelasi filsafat oleh Francois Lyotard dalam bukunya “The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge” tahun 1984. Lyotard
menjelaskan bahwa akibat pengaruh teknologi informasi, maka prinsip kesatuan
ontologis yang selama ini mendasari ide dasar filsafat modern sudah tidak lagi
relevan dengan realitas kontemporer.
Maka itu prinsip homologi (kesatuan ontologis) harus
didelegitimasi oleh paralogi (pluralisme) dengan tujuan agar kekuasaan,
termasuk kekuasaan oleh ilmu pengetahuan, tidak lagi jatuh pada sistem
totaliter yang biasanya bersifat hegemonik dan pro status-quo atau meminjam
terminologi Ibrahim Ali Fauzi bahwa postmodernisme adalah sebuah gerakan global
renaissans atas renaissans yang diartikan ketidakpercayaan atas segala bentuk
narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk
pemikiran yang men-totalisasi seperti Hegelianisme, Kapitalisme, Liberalisme,
Marxisme, Nasionalisme, Komunisme, Sosialisme dan lainnya.
Cukup banyak peristiwa yang bisa dikumpulkan akibat ide
narasi besar (meta-narasi) yang menandai kegagalan dari modernisme seperti
kekejaman pasukan Nazi pada perang dunia kedua yang menandai kegagalan
nasionalisme. Pemberontakan kaum buruh terhadap partai komunis yang terjadi di Berlin (1953),
Budapest (1956) dan Polandia (1980) yang menunjukkan betapa komunisme sebagai
ideologi totaliter mengandung banyak kotradiksi, yaitu bahwa pekerja
memberontak terhadap partai yang memperjuangkan nasib mereka sendiri. Dan
banyak kejadian lainnya yang bisa disebutkan termasuk aneksasi neo-liberalisme
dan neo-kapitalisme Amerika Serikat terhadap Irak.
Dalam konteks ini tidak berlebihan apabila janji modernitas,
yang dibangun oleh rasionalitas, untuk mencapai emansipasi manusia dari
kemiskinan, kebodohan, prasangka dan tiadanya rasa aman dianggap tidak masuk
akal. Modernisme disamping menciptakan kemajuan teknologi juga menciptakan
totalitarianisme, pembunuhan yang lebih massif (genosida) dan aneksasi
kolonialisme yang membabi buta. Sehingga demikian, Lyotard menolak segala macam
bentuk meta-narasi, yang ada bukan kebenaran tetapi kebenaran-kebenaran yaitu
kebenaran majemuk dan lokal (mini-narasi).
Daftar Pustaka
Agger,
Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya.
Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed,
Akbar
S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan
Bagi Islam.
Mizan: Bandung
Jones,
Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga
Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Ritzer, George. 2004. Teori
Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar