A. Pengertian
Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kritikus
orientalisme bernama Edward W Said menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu
cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam
pengalaman manusia Barat Eropa1. Secara bahasa orientalisme berasal
dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme
bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal
yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni
dunia ketimuran ini disebut orientalis. Menurut Grand Larousse
Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais2, orientalis adalah
sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya,
kesusastraannya, dan sebagainya. Karena itu orientalisme dapat dikatakan merupakan semacam
prinsip-prinsip tertentu yang menjadi ideologi ilmiah kaum orientalis.
Kata isme menunjukkan pengertian
tentang suatu faham. Jadi, orientalisme bermakna suatu faham atau aliran yang
berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur
beserta lingkungannya.
B. Latar Belakang Munculnya
Orientalisme
Munculnya orientalisme tidak terlepas
dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya, antara lain akibat perang Salib
atau ketika dimulainya pergesekan politik dan agama antara Islam.
dan Kristen Barat di Palestina.
Argumentasi mereka menyatakan bahwa permusuhan politik berkecamuk antara
umat Islam dan Kristen selama pemerintahan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin
al-Ayyubi. Karena kekalahan demi kekalahan yang dialami pasukan Kristen maka
semangat membalas dendam tetap membara selama berabad-abad.
Faktor lainnya adalah bahwa
orientalisme muncul untuk kepentingan penjajahan Eropa terhadap negara-negara
Arab dan Islam di Timur, Afrika Utara dan Asia Tenggara, serta kepentingan
mereka dalam memahami adat istiadat dan agama bangsa-bangsa jajahan itu demi
memperkokoh kekuasaan dan dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan. Faktor-faktor tersebut mendorong mereka menggalakkan studi orientalisme dalam
berbagai bentuknya di perguruan-perguruan tinggi dengan perhatian dan bantuan
dari pemerintah mereka.
C. Dogma Orientalisme
Menurut pengamatan Amien Rais3
sekurang-kurangnya terdapat enam dogma orientalisme, yaitu pertama,
ada perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang rasional,
maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional, terbelakang
dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan Amerika yang
merupakan manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika
hanya bertaraf setengah-manusia.
Edward W Said menyatakan
orientalisme memandang Timur sebagai sesuatu yang keberadaannya tidak hanya
disuguhkan melainkan juga tetap tinggal pasti dalam waktu dan tempat bagi
Barat. Seluruh periode sejarah budaya, politik, dan sosial Timur hanyalah
dianggap sebagai tanggapan semata-mata terhadap Barat. Barat adalah pelaku (actor),
sedangkan Timur hanyalah penanggap (reactor) yang pasif. Barat adalah
penonton, penilai dan juri bagi setiap segi tingkah laku Timur4.
Sikap-sikap orientalis kontemporer, lanjut Said, telah menguasai pers dan
pikiran masyarakat. Orang-orang Arab, umpamanya, dianggap si hidung belang yang
senang menerima suap yang kekayaannya merupakan penghinaan terang-terangan
terhadap peradaban sejati. Selalu ada asumsi bahwa meskipun konsumen Barat
tergolong minoritas dari penduduk dunia, mereka berhak untuk memiliki atau
membelanjakan sebagian besar sumber daya dunia. Mengapa? Karena mereka
manusia-manusia sejati yang berlainan dengan dunia Timur5.
Kedua, abstraksi dan teorisasi
tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks klasik, dan hal ini lebih
diutamakan daripada bukti-bukti nyata dari masyarakat Timur yang konkret dan
riil. Dalam masalah ini, para orientalis tidak bisa mengelakkan tuduhan
Edward W Said bahwa
mereka tidak mau menyelidiki perubahan yang terjadi dalam masyarakat Timur, tetapi lebih
mengutamakan isi teks-teks kuno sehingga orientalisme
berputar-putar di sekitar studi tekstual, tidak realistis. Philiph
K Hitti, umpamanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari Islam dan umatnya tidak
diperlukan kerangka teori baru karena, menurutnya, masyarakat Islam yang
sekarang ini masih persis sama dengan masyarakat Islam sembilan abad yang
lalu. Ketiga, Timur
dianggap begitu lestari (tidak berubah-ubah), seragam, dan tidak sanggup
mendefinisikan dirinya. Karena itu menjadi tugas Barat untuk mendefinisikan apa
sesungguhnya Timur itu, dengan cara yang sangat
digeneralisasi, dan semua itu dianggap cukup obyektif. Keempat, pada dasarnya Timur itu merupakan sesuatu yang perlu
ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukkan. Apabila seorang orientalis
mempelajari Islam dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua
dogma pokok lainnya. Kelima, al-Quran bukanlah wahyu Ilahi,
melainkan hanyalah buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur-unsur
agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Seorang orientalis bernama
Chateaubriand, misalnya, mengindoktrinasi murid-muridnya bahwa al-Quran itu
sekedar buku karangan Muhammad. Al-Quran tidak memuat prinsip-prinsip peradaban
maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia bahkan mengatakan,
al-Quran tidak mengutuk tirani dan tidak menganjurkan cinta
pada kemerdekaan. Keenam, kesahihan atau otentisitas
semua hadis harus diragukan. Malah ada yang mengeritik syarat-syarat sahihnya
hadis seperti yang dilakukan Joseph Schacht. Amien Rais menyindir bahwa
disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada juga hadis riwayat Josep
Schacht.
D. Tujuan
Orientalisme
Edward W Said melakukan kritik yang
keras terhadap orientalisme. Menurutnya, orientalisme tidak terletak dalam
suatu ruang hampa budaya; ia merupakan kenyataan politik dan budaya6.
Barat, tulis Said, bertanggung jawab membentuk persepsi yang keliru tentang
dunia yang ingin mereka jelaskan. Merupakan suatu kenyataan bahwa para orientalis senantiasa menyajikan karya
tulisnya yang didasarkan pada tujuan tertentu. Secara garis besar tujuan itu
terbagi tiga yaitu : (1) Untuk kepentingan penjajahan (2) Untuk kepentingan
agama mereka (3) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Untuk kepentingan
penjajahan jelas tergambar dari penelitian-penelitian yang serius yang
dilakukan para orientalis. Dalam kasus Indonesia, Snouck Hurgronye begitu
jelas. Nama ini oleh pemerintah Belanda diberi kepercayaan untuk mengkaji Islam
sedalam-dalamnya sehingga sempat menetap di Mekkah bertahun-tahun. Namun tujuan
pengkajiannya tidak lain kecuali untuk melemahkan perlawanan umat Islam
terhadap Belanda serta mengobrak-abrik pertahanan
Persatuan dan pertahanan kaum Muslim dengan politik belah bambunya7.
Untuk kepentingan agama juga jelas karena semua penjajah yang menguasai
negara-negara Muslim adalah berlatar belakang agama Kristen. Sekalipun ada
teori bahwa para kolonialis tidak berambisi mengkristenkan penduduk, namun setidak-tidaknya
para penginjil telah menemukan momentumnya untuk membonceng pihak kolonialis
untuk menyebarkan Kristen ke tengah penduduk.
Untuk kepentingan ilmu pengetahuan; memang para orientalis berasal dari para
intelek dan sarjana yang serius mengkaji masalah-masalah ketimuran. Hampir di
tiap universitas di Amerika selalu ada pusat-pusat kajian ketimuran seperti
pusat kajian Timur Tengah, Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan.
Tujuan yang ketiga dapat menghasilkan kesilmpulan yang netral atau fair tentang
Islam sekalipun demi kenetralan ilmu mereka juga dapat memberi kesimpulan yang
kurang fair tentang Islam. Namun tujuan pertama dan kedua sudah pasti akan menghasikan penilaian yang
miring, bias dan tidak fair tentang Islam demi kepentingan kolonial dan
ekspansi agama mereka.
E. Pro Kontra terhadap Orientalisme
Berbagai macam tanggapan kaum Muslimin terhadap orientalisme. Sebagian mereka
ada yang menganggap seluruh orientalis sebagai musuh Islam. Mereka bersikap
ekstrim dan menolak seluruh karya orientalis. Bahkan di antara
mereka ada yang secara emosional menyatakan bahwa orang Islam yang mempelajari
tulisan karya orientalis termasuk antek zionis8.
Mereka mempunyai argumen bahwa orientalisme bersumber pada ide-ide Kristenisasi
yang menurut Islam sangat merusak dan bertujuan menyerang benteng pertahanan
Islam dari dalam. Karena pada faktanya tidak sedikit karya-karya orientalis
yang bertolak belakang dengan Islam. H.A.R.Gibb, misalnya, dalam karyanya Mohammedanism
berpendapat bahwa al-Quran hanyalah karangan Nabi Muhammad; juga dengan
menanamkan Islam sebagai Mohammedanism, Gibb mencoba menurunkan derajat
kesucian agama wahyu ini, padahal ia tahu persis tak ada seorang manusia Muslim
pun berpendapat bahwa Islam adalah ciptaan Muhammad SAW9.
Pandangan yang sepenuhnya negatif dikemukakan oleh Ahmad Abdul Hamid Ghurab
mengenai karakter Orientalisme yaitu: pertama, orientalisme adalah suatu
kajian yang mempunyai ikatan yang sangat erat dengan kolonialisme Barat; kedua,
orientalisme merupakan gerakan yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan
Kristenisasi; ketiga, orientalisme merupakan kajian gabungan yang kuat
antara kolonialisme dengan gerakan Kristenisasi yang validitas ilmiah dan obyektivitasnya
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara mutlak khususnya dalam mengutarakan
kajian tentang Islam; keempat, orientalisme merupakan bentuk kajian yang
dianggap paling potensial dalam politik Barat untuk melawan Islam.
Sebagian lagi bersikap lebih toleran
dan mereka terbagi dalam dua kelompok, satu kelompok bersikap sangat
berlebihan, artinya semua karya tulis kaum orientalis dinilai sangat ilmiah
sehingga bagi mereka seluruh karya orientalis sangat obyektif dan dapat
dipercaya.
Kelompok lain bersikap hati-hati dan kritis; mereka selalu berusaha berpijak
pada landasan keilmuan. Menurut mereka, cukup banyak karya tulis kaum
orientalis yang berisi informasi dan analisis obyektif tentang Islam dan
ummatnya, karena memang tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan
Islam melainkan hanya sebagian kecilnya saja.
Maryam Jamilah menyatakan bahwa orientalisme tidak sama sekali buruk. Sejumlah
pemikir besar di Barat, kata Jamilah, telah menghabiskan umurnya untuk
mengkaji Islam lantaran mereka secara jujur tertarik terhadap kajian-kajian
itu. Tanpa usaha mereka, banyak di antara pengetahuan berharga dalam buku-buku
Islam kuno akan hilang tanpa bekas atau tidak terjamah orang11. Para
orientalis dari Inggris seperti mendiang Reynold Nicholson dan Arthur J.
Arberry berhasil menulis karya penting berupa penerjemahan karya-karya Islam
klasik sehingga terjemahan-terjemahan itu untuk pertama kalinya dapat dikaji
oleh para pembaca di Eropa.
Pada umumnya para orientalis itu
benar-benar menekuni pekerjaan penerjemahan ini. Mereka yang cenderung
membatasi cakupan pengkajiannya hanya pada deskripsi,
kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat bermanfaat,
informatif dan membuka cakrawala pemikiran baru. Persoalan timbul pada saat
mereka melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang benar dan berusaha
menafsirkan Islam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Dunia Islam
berdasarkan pandangan-pandangan pribadi yang tidak cocok.
Yang paling jelek di antara mereka adalah para orientalis yang mencoba
memberikan saran kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita memecahkan
persoalan-persoalan kita dan apa yang seharusnya kita lakukan terhadap agama
kita12. Kritik tajam, ilmiah dan berdampak pada dunia
orientalisme datang dari Edward W Said dalam karyanya Orientalisme. Karya
Guru besar Universitas Columbia, New York, ini telah menimbulkan
kehebohan dan kontroversi di lingkungan dunia akademis Barat yang biasa disebut
kaum orientalis.
Menurut Said, orientalisme bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki
akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan relijius. Secara politis, penelitian,
kajian dan pandangan Barat tentang dunia oriental bertujuan untuk kepentingan
politik kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah Muslim13.
Dan kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan
sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen.
Ketiga
kepentingan yang saling terkait satu sama lain ini
tersimpul dalam slogan yang sangat terkenal tentang ekspansi
Eropa ke kawasan dunia Islam, yang
mencakup 3G yakni Glory, Gold and Gospel: kejayaan,
kekayaan ekonomi dan penginjilan.
Semua motif
dan kepentingan orientalisme ini secara implisit juga bersifat rasis. Dan ini
tercermin dalam slogan missi pembudayaan terhadap dunia Timur yang terbelakang,
jika tidak primitif.
Kritik keras Said yang sangat menusuk itu mau tak mau sangat mengguncangkan
sendi-sendi kajian Barat terhadap dunia Timur. Hasilnya, di kalangan banyak
sarjana Barat yang biasa disebut orientalis, istilah orientalisme menjadi
sesuatu yang pejoratif, jika tidak disgusting14.
F. Beberapa Contoh Orientalis
1. H.A.R. Gibb
Ia meninggal tahun 1971. Dulu mengajar di Oxford dan
Harvard. Pendapat-pendapat
Gibb mengenai Islam sering dianggap simpatik oleh kalangan sarjana Islam
sendiri. Salah satu pendapatnya yang simpatik
adalah ia menyatakan bahwa Islam is indeed much more than a system of theology,
it is complete civilization (Islam sesungguhnya lebih dari satu sistem teologi,
ia adalah peradaban yang sempurna.
Tetapi menurut pengamatan Amien Rais,
kalau diteliti dalam salah satu bukunya ia mengarahkan pembacanya supaya
yakin bahwa pada zaman modern peranan Islam dalam
kehidupan sosial pasti akan sirna.
Secara
ringkas argumennya adalah:
sebagai agama dalam arti sempit,
Islam hanya kehilangan sedikit kekuatannya. Namun sebagai penentu dalam kehidupan
sosial di zaman modern, Islam sedang dicopot dari singgasananya. Dalam
kehidupan modern terlalu banyak masalah yang tidak ada sangkut pautnya
dengan Islam. Dalam hal ini, Islam tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyerah
pada keadaan, dan Islam akan ditelan oleh perkembangan zaman15.
Orang Islam yang tertarik pada Gibb ini tentu akan berpikir bahwa
sekularisme memang tepat untuk kemajuan Islam.
2. Wilfred Cantwell Smith
Orientalis ini sering juga dianggap
simpatik pada Islam. Bukunya Islam in Modern History sangat masyhur
termasuk di negara kita. Setelah kita selesai membaca buku ini penilaian aneh
segera timbul karena menurut Smith perkembangan yang paling menggembirakan
dalam dunia Islam sedang dialami oleh Islam di India dan Turki.
Tetapi bagaimana mungkin Smith bisa
mengambil kesimpulan yang begitu ahistorical? Islam sedang
terbentur-bentur di samudera India, dan sampai sekarang pun tetap jadi
minoritas yang keadaannya sangat memprihatinkan, sedangkan ketika buku Smith
itu terbit (1957), Islam di Turki sedang bergulat dengan sisa-sisa Sekularisme
Attaturk yang mengakibatkan luka-luka terlalu dalam.
3. Montgomery Watts
Selain dipandang lembut dan simpatik
pada Islam, Watt dinilai juga sebagai sangat teliti dan hati-hati dalam
mempelajari sumber-sumber Islam. Walaupun
demikian kita memperoleh sebuah nasehat yang bagus dalam bab terakhir
bukunya Islam and the Integration of Society. Setelah memaparkan
analisisnya, Watt cukup berbesar jiwa mau mengakui bahwa Islam bisa memiliki
peranan besar di dunia ini pada masa mendatang. Namun cepat ia menambahkan
bahwa Islam harus bersedia mengakui asal-usulnya. Apa yang ia maksud? Tidak
lebih dari pada pencampurbauran unsur-unsur Perjanjian Lama, Perjanjian Baru
dan sumber-sumber lain. Logika selanjutnya adalah umat Islam supaya mau melepaskan al-Qur’an kalau
ingin memiliki peranan di masa mendatang.
Karya-karya Watt tentang Islam
terhitung banyak. Kebanyakan kajiannya adalah tentang sejarah Islam. Karya-karyanya antara lain adalah: Muhammad at Mecca , Muhammad at Medina ,
The Majesty That Was Islam, History of Islamic Spains ,
The Influence of Islam in Medieval Europe .
Dalam karya yang
disebut terakhir, ia dengan meyakinkan menegaskan jasa besar Islam di bidang
ilmu pengetahuan yang kemudian diadopsi oleh orang-orang Eropa.
4. Gustave von Grunebaum
Menurut Amien Rais, tokoh ini tidak pernah menyembunyikan kebenciannya terhadap
Islam. Di antara buku-bukunya yang
mencaci-maki Islam
adalah Modern Islam : The Search for Cultural Identity.
Dalam buku ini
antara lain ia menyatakan bahwa peradaban Islam tidak memiliki
aspirasi-aspirasi primer seperti peradaban lainnya. Ciri peradaban Islam adalah
antikemanusiaan. Selain itu, Islam tidak punya etik formatif dan kekurangan
kesegaran intelektual. Kaun Muslim tidak bisa maju, tidak ilmiah, tidak bisa obyektif,
tidak kreatif, dan otoriter. Islam di tangan von Grunebaum adalah Islam yang
direduksi dan ditempeli sifat-sifat negatif yang bisa dikhayalkan oleh
Grunebaum. Kebenciannya juga dituangkan dalam bukunya Medieval Islam.
G. Studi Islam para Orientalis
Studi yang
dilakukan para orientalis berangkat dari paradigma berfikir bahwa Islam adalah
agama yang bisa diteliti dari sudut mana saja dan dengan kebebasan sedemikian
rupa. Tidak mengherankan kalau mereka begitu bebasnya menilai, mengritik bahkan
melucuti ajaran-ajaran dasar Islam yang bagi kaum Muslim tabu untuk
dipermasalahkan. Studi yang mereka lakukan
meliputi seluruh aspek ajaran Islam seperti
sejarah, hukum, teologi, quran, hadis,
tasauf, bahasa, politik, kebudayaan
dan pemikiran. Di antara mereka ada yang
mengkaji Islam meliputi seluruh aspek tadi, ada juga yang
hanya meneliti satu aspek saja. Philiph K Hitti, HAR Gibb, dan
Montgomery Watt banyak menfokuskan pengkajian pada aspek sejarah
Islam. Sementara Joseph Schact pada kajian hukum Islam, David Power pada
kajian Quran, dan A J Arberry pada aspek tasauf.
Sebagai contoh David Power pernah meneliti sedalam-dalamnya ayat-ayat Qur’an
sehingga memunculkan kesimpulan Quran tidak sempurna antara lain karena tidak
adil membagi waris antara laki-laki dan perempuan. Josep Schacht
pernah meneliti masalah hadis sedemikian rupa sehingga pembaca bisa tergiring
ke kesimpulan bahwa hadis tidak layak menjadi sumber hukum Islam.
H. Orientalis dan Islamisis
Akhir-akhir ini pengkajian Islam oleh
orang-orang bukan Islam terus dilakukan bahkan makin intensif. Pengkajian
itu masih didominasi oleh para pemikir Barat. Hanya kalau dahulu para peneliti
Islam disebut orientalis maka sekarang mereka tidak suka disebut orientalis.
Sebutan yang mereka lebih sukai adalah Islamisis.
Menurut Azyumardi Azra kecenderungan mereka tidak ingin disebut orientalis
muncul setelah kritik tajam Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme16.
Dalam buku ini Said mengungkapkan secara tajam bias intelektual Barat terhadap
dunia Timur (oriental) umumnya, dan Islam serta dunia Muslim khususnya. Dengan tegar dia mengemukakan
gugatan bahwa Barat bertanggung jawab membentuk persepsi yang keliru
tentang dunia yang ingin mereka jelaskan.
Perbandingan Paradigma Orientalis dan
Islamisis
Memang terdapat perbedaan antara
keduanya. Orientalis lebih kental nuansa politis dan tendensi kencurigaannya
terhadap Islam. Islamisis tampak lebih bersahabat. Kajiannya lebih bersifat ilmiah,
daripada penyelidikan demi kepentingan imperialisme. Nama-nama Islamisis yang
produktif saat ini adalah John L. Esposito, Karen Armstrong, Martin Lings,
Annemarie Schimmel, John O. Voll, Ira M. Lapidus, Marshal GS Hodgson,
Leonard Binder dan Charles Kurtzman. Di antara mereka ada yang kemudian masuk
Islam seperti Annemarie Schimmel.
Esposito amat produktif menulis kajian
Islam. Di antara bukunya adalah: Voices of Resurgent Islam, Ensiklopedi
Dunia Islam Modern, Sejarah Peradaban Islam, Islam Politik, dan Ancaman
Islam Mitos atau Realitas. Kajiannya berusaha
mengungkapkan fakta seobyektif mungkin, nyaris tanpa komentar yang miring.
Kecenderungan mencari kelemahan-kelemahan Islam dan umatnya seperti yang
dilakukan para orientalis tampaknya tidak menonjol. Bahkan kekayaan data dan
fakta menjadi ciri mereka dalam mengkaji Islam. Marshal Hodgson misalnya
menguraikan peradaban Islam dalam sejarah dalam sudut pandang integral dan
sistemik. Lapidus juga menawarkan horison baru peradaban Islam lewat analisis-analisisnya
yang multiaspek.
Azyumardi Azra memuji karya Hodgson s
ebagai contoh yang sangat baik tentang penulisan sejarah Islam setelah
Perang Dunia II17 dan karya Lapidus sebagai karya paling lengkap dan
komprehensif tentang sejarah masyarakat-masyarakat Muslim.18
Catatan Kaki
- Edward W Said, Orientalisme, Terj.
Asep Hikmat, Bandung: Pustaka Salman, 1996.
- M. Amien Rais, Cakrawala Islam,
Bandung: Mizan, 1986, hlm.
- Ibid., hlm. 234.
- Said, Orientalisme, hlm. 143-144.
- Ibid., hlm. 143.
- Ibid., hlm. 16.
- Untuk melihat lebih jelas peran Hurgronje
lihat Hamid Algadri, Snouck Hurgronye, Politik Belanda terhadap
Islam dan Keurunan Belanda, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984. dan
Aqib Suminto, Politik Islam Snouck Hurgronye, Jakarta: LP3ES.
- Qasim Al-Samurai, Bukti-bukti Kebohongan
Orientalis, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 1.
- Rais, Cakrawala, hlm. 241.
- Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Menyingkap Tabir
Orientalisme, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993, hlm. 21.
- Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme,
Sebuah Kajian Analitik, Terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawalipers,
1994, hlm. 11.
- Ibid.
- Said, Orientalisme, hlm. 16.
- Azra, Historiografi, hlm. 187.
- HAR Gibb, Whiter Islam, hlm. 335
sebagaimana dikutip Amien Rais dalam Cakrawala, hlm. 240.
- Azra, Historiografi, hlm. 187.
- Ibid., hlm. 68.
- Ibid., hlm. 65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar