Nah, kita akan membahas tentang Rasionalisme. Rasionalisme adalah salah satu aliran filsafat yang paling berpengaruh bagi perkembangan pemikiran di Barat. Berikut ini penjelasannya.
Usaha
manusia untuk memberi kemandirian kepada akal sebagaimana yang telah dirintis
oleh para pemikir renaisans, masih berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad
ke-17 adalah era dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang
sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar
terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal segala
macam persoalan dapat dijelaskan, semua permasalahan dapat dipahami dan
dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.
Keyakinan
yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah berimplikasi kepada perang
terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang
bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan, terhadap
norma-norma yang bersifat tradisi dan terhadap apa saja yang tidak masuk akal
termasuk keyakinan-keyakinan dan serta semua anggapan yang tidak rasional.
Dengan
kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih
sempurna, dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan
terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam
bentuk suatu keinginan untuk menyusun secara a priori suatu sistem keputusan
akal yang luas dan tingkat tinggi. Corak berpikir yang sangat mendewakan
kemampuan akal dalam filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme.
Pada
zaman filsafat modern, tokoh pertama rasionalisme adalah Rene Descartes
(1595-1650). Tokoh rasionalisme lainnya adalah Baruch Spinoza (1632-1677)
dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Descartes dianggap sebagai Bapak
Filsafat Modern. Menurut Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada
Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun
filsafat berdasarkan atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh
pengetahuan akliah. Dia pula orang pertama di akhir abad pertengahan yang
menyusun argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat
haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang
lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap perkembangan filsafat
yang amat lamban dan banyak memakan korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang
mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin
filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen, selanjutnya kembali kepada
semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.
Descartes
sangat menyadari bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar
filsafat haruslah rasio. Tokoh-tokoh Gereja waktu itu masih berpegang teguh
pada keyakinan bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat dalam
jargon credo ut intelligam yang dipopulerkan oleh Anselmus. Untuk
meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasinya
dalam sebuah metode yang sering disebut cogito Descartes, atau metode cogito
saja. Metode tersebut dikenal juga dengan metode keraguan Descartes (Cartesian
Doubt)
Lebih
jelas uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih dari
metode yang ia canangkan dapat dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes
Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal
berikut ini:
a)
Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai
kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan
tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
b)
Pecahkanlah setiap kesulitan atau
masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun
yang mampu merobohkannya.
c)
Bimbinglah pikiran dengan teratur,
dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara
bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
d)
Dalam proses pencarian dan penelaahan
hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan- perhitungan yang sempurna
serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin
bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan
itu.
Atas
dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filsafatnya. Ia
meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Pertama-tama ia mulai meragukan
hal-hal yang berkaitan dengan panca indera. Ia meragukan adanya badannya
sendiri. Keraguan itu dimungkinkan karena pada pengalaman mimpi, halusinasi,
ilusi dan pengalaman tentang roh halus, ada yang sebenarnya itu tidak
jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah
dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi, seolah-olah seseorang
mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi.
Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan hal gaib. Tidak ada batas yang
tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata, ”Aku dapat
meragukan bahwa aku di sini sedang siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat
meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi persis sepeti itu, padahal aku
ada di tempat tidur sedang bermimpi”. Jadi, siapa yang dapat menjamin bahwa
yang sedang kita alami sekarang adalah kejadian yang sebenarnya dan bukan
mimpi?
Pada
langkah pertama ini Descartes berhasil meragukan semua benda yang dapat
diindera. Sekarang , apa yang dapat dipercaya dan yang sungguh-sungguh ada?
Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi dan hal
gaib), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada yang selalu
muncul baik dalam jaga maupun dalam mimpi, yaitu gerak, jumlah dan besaran
(volume). Ketiga hal tersebut adalah matematika. Untuk membuktikan ketiga hal
ini benar-benar ada, maka Descartes pun meragukannya. Ia mengatakan bahwa
matematika bisa salah. Saya sering salah menjumlah angka, salah mengukur
besaran, demikian pula pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya
ragukan, meskipun matematika lebih pasti dari benda. Kalau begitu, apa yang
pasti itu dan dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang
distinct.
Sampailah
ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode cogito. Satu-satunya hal
yang tak dapat ia ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri yang sedang
ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak ada satu manusia pun yang dapat
menipunya termasuk setan licik dan botak sekali pun. Bahkan jika kemudian ia
disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, maka penyesatan itu pun bagi Descartes
merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Ini bukan khayalan,
melainkan kenyataan. Batu karang kepastian Descartes ini diekspresikan dalam
bahasa latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada).
Dalam
usaha untuk menjelaskan mengapa kebenaran yang satu (saya berpikir, maka saya
ada) adalah benar, Descartes berkesimpulan bahwa dia merasa diyakinkan oleh
kejelasan dan ketegasan dari ide tersebut. Di atas dasar ini dia menalar bahwa
semua kebenaran dapat kita kenal karena kejelasan dan ketegasan yang timbul
dalam pikiran kita:” Apa pun yang dapat digambarkan secara jelas dan tegas
adalah benar.
Dengan
demikian, falsafah rasional mempercayai bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan
bukanlah turunan dari dunia pengalaman melainkan dari dunia pikiran. Descartes
mengakui bahwa pengetahuan dapat dihasilkan oleh indera, tetapi karena dia
mengakui bahwa indera itu bisa menyesatkan seperti dalam mimpi atau khayalan,
maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data keinderaan tidak dapat
diandalkan.
Cogito
ergo sum dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat
Descartes yang disebut sebagai kebenaran filsafat yang pertama (primum
philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi
yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran dan keberadaannya tidak
butuh kepada suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi.
Untuk
menguatkan gagasannya, ia mengemukakan ide-ide bawaan (innate ideas).
Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat tiga ide bawaan yang telah
ada pada dirinya sejak lahir, yaitu pemikiran, Tuhan dan keluasan. Argumen
tentang ide bawaan tersebut adalah ketika saya memahami diri saya sebagai
makhluk yang berpikir, maka harus diterima bahwa pemikiran merupakan hakikat
saya. Ketika saya mempunyai ide sempurna, maka pasti ada penyebab sempurna bagi
ide tersebut, karena akibat tidak mungkin melebihi penyebabnya. Wujud yang
sempurna itu tidak lain adalah Tuhan. Adapun alasan tentang keluasan karena
saya mengerti ada materi sebagai keluasan, sebagaimana diketahui dan dipelajari
dalam ilmu geometri.
Mengenai
substansi, Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Tuhan ada dua substansi, yaitu
jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang hakikatnya adalah
keluasan. Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar
dirinya, maka ia kesulitan membuktikan adanya dunia luar tersebut. Bagi
Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia luar adalah bahwa
Tuhan akan menipu saya sekiranya Ia memberi ide keluasan. Namun tidak mungkin
Tuhan sebagai wujud yang sempurna akan menipu saya. Jadi, di luar saya
benar-benar ada dunia material.
Adapun
Spinoza beranggapan bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Jika Descartes
membagi substansi menjadi tiga, yaitu tubuh (bodies), jiwa (mind)
dan Tuhan, maka Spinoza menyimpulkan hanya ada satu substansi. Adapun bodies
dan mind bukan substansi yang berdiri sendiri, melainkan sifat dari satu
substansi yang tak terbatas. Ketika ia ditanya,”Bagaimana membedakan atribut
bodies dan mind?” Spinoza memberi jawaban mengejutkan: ”Anda
hanyalah satu bagian dari substansi kosmik (universe)”. Jika demikian,
alam semesta juga adalah Tuhan. Bagi Spinoza, Tuhan dan alam semesta adalah
satu dan sama. Ya, Spinoza percaya kepada Tuhan, tetapi Tuhan yang
dimaksudkannya adalah alam semesta ini. Tuhan Spinoza itu tidak berkemauan,
tidak melakukan sesuatu, tak mempedulikan manusia dan tak terbatas (ultimate).
Inilah penjelasan logis dan dapat diketahui tentang Tuhan menurut Spinoza.
Sebagai
penganut rasionalisme, Spinoza dianggap sebagai orang yang tepat dalam
memberikan gambaran tentang apa yang dipikirkan oleh penganut rasionalisme. Ia
berusaha menyusun sebuah sistem filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur
(geometri). Seperti halnya orang Yunani, Spinoza mengatakan bahwa dalil-dalil
ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi.
Spinoza meyakini bahwa jika seseorang memahami makna yang dikandung oleh
kata-kata yang dipergunakan dalam ilmu ukur, maka ia pasti akan memahami makna
yang terkandung dalam pernyataan “sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat
di antara dua buah titik”, maka kita harus mengakui kebenaran pernyataan
tersebut. Kebenaran yang menjadi aksioma.
Contoh
ilmu ukur (geometri) yang dikemukakan oleh Spinoza di atas adalah salah satu
contoh favorit kaum rasionalis. Mereka berdalih bahwa aksioma dasar geometri
seperti, “sebuah garis lurus merupakan jarak yang terdekat antara dua titik”,
adalah idea yang jelas dan tegas yang baru kemudian dapat diketahui oleh
manusia. Dari aksioma dasar itu dapat dideduksikan sebuah sistem yang terdiri
dari subaksioma-subaksioma. Hasilnya adalah sebuah jaringan pernyataan yang
formal dan konsisten yang secara logis tersusun dalam batas-batas yang telah
digariskan oleh suatu aksioma dasar yang sudah pasti.
Daftar Pustaka
Achmadi, Asmoro.
Filsafat Umum. Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Anees, Bambang Q- dan
Radea Juli A. Hambali. Filsafat Untuk Umum. Cet. I; Jakarta: Prenada
Media, 2003.
Hadiwijono, Harun. Sari
Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Ravertz, Jerome
R. The Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu
dengan judul Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan.
Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Mustansyir,
Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. VII; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar