Prolog
Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang
memiliki komitmen cukup baik kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu
agama Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk membangun
peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam tersebut. Salah
satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha mengambil
inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk
mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan.
Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri
yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus
perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis
populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar
itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi
ajaran keagamaan Islam.
Teologi islam (ilm al-kalam asy’ari), secara
teoritis, menurut Hasan Hanafi, tidak bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’ maupun
‘filosofis’. Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk
mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniaannya, bukan dialektik
tentang konsep watak sosial dan sejarah, disamping ini ilmu kalam juga
sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai
wakil Tuhan di bumi. Hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan
pembicaraan tentang manusia.
Sealain itu secara praktis, teologi tidak bias menjadi
pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motifasi dalam kehidupan konkrit
manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas dasar kesadaran murni
dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (spilt)
antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang akhirnya
melahirkan sikap-sikap moral ganda atau singkritisme kepribadian. Fenomena
sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi, dengan adanya faham
keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern
(dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme
(dalam sosial) dan kapitalisme juga sosialisme (dalam
ekonomi).
Riwayat Hidup
Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat
Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng
Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat
dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak
lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi
peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk
dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.[1] Hal ini menunjukkan bahwa Mesir,
terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi
keilmuan Hasan Hanafi. Selain itu ia juga mempelajari pemikiran sayyid Quthub
tentang keadilan sosial dan keislaman.
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang
belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila
Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru
terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok
pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu.
Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya
Hanafi yang paling monumental.
Tahun 1952 itu juga, tamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan
studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang
gelar Sarjana muda, kemudian ia melanjutkan study ke Universitas Sorbone,
Prancis. Pada tahun 1966 ia berhasil menyelesaikan progam Master dan Dokternya
sekaligus dengan tesis. Disamping dunia akademik Hanafi juga aktif dalam
organisasi ilmiah dan kemasyarakatan. Aktif sebagai sekertaris umum Persatuan
Masyarakat Fislafat Islam Mesir, anggota Ikatan Penulis asia-afrika dan menjadi
wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar
di dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai dan sekaligus sebagai
pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar Al-Islamai.
Ituah Hanafi, ayah dari tiga orang anak. Ia
sekurang-kurangnya pernah menulis 20 buku dan puluhan makalah ilmiah yang lain.
Karyanya yang popular ialah Al-Yasar al-Islami (Islam kiri), Min
al-`Aqidah ila al-Thawrah (Dari Teologi ke Revolusi), Turath wa Tajdid
(Tradisi dan Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995), dan
lainnya. Ternyata, Hasan Hanafi bukan sekadar pemikir revolusioner, tapi juga
reformis tradisi intelektual Islam klasik.
Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang
penuh pergolakan dan pertentangan. Dari sisi Sosial Politik, saat itu terdapat
dua kelompok ekstern yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri ada
partai komunis yang semakin kuat atas pengaruh Soviyet di seluruh dunia.
Kemenanga Soviyet salama perang dan dikukuhkannya perwakilan soviyet di Kaoiro
(1942) ini semakin meningkatkan minat mahasiswa untuk belajar Komunisme.
Semntar di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin, didirikan Hasan al-Bana tahun
1929 di Ismailia yang pro-Islam dan anti barat. Kelompok ini memiliki sejumlah
besar pengikut, termasuk hanafi sendiri pada awalnya.
Pemerintah mesir sendiri ambil alih dalam pergolakan
tersebut, dengan melakukan pebersihan terhadap kaum komunis (1946) setelah
setahun sebelumnya melarang aktifitaskelompok ini. Pergolakan ini terus
berlanjut, setelah tahun 1952 meletus revolusi yang dimotori oleh Ahmad Husain,
tokoh partai sosialis. Dari sisi Pemikiran, ada tiga kelompok pemikiran
yang berbeda dan bersaing saat itu. Pertama, kelompok yang cenderung pada Islam
(the islam trend) yang diwakili oleh, al-Bana dengan Ikhwanul
Muslim-nya. Kedua, kelompok yang cenderung pada pemikiran bebas dan rasional (the
rasional scientific and liberal trend) Luthfi al-Sayyid dan para emigrant
Syiria yang lari ke Mesir. Dasar pemikiran kelompok ini bukan Islam tetapi
peradaban Baraat dengan presentasi-presentasinya. Ketiga, kelompok yang
berusaha memadukan Islam dan Barat (the synthetic trend) yang diwakili
oleh ‘Ali ‘Adul Raziq (1966)
Dalam menghadapi tnatangan mordenitas dan liberalism
politik, kelompok pertama dan kebanyakan ulama konservatif menganggap bahwa
politik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir, bid’ah. Pengadopsian sistem
politik Barat oleh pemerintah Mesir berarti pengingkaran terhadap
nilai-nilai Islam. Sebaliknya, kelompok kedua yang kebanyakan para sarjana
didikan barat menganggap bahwa, jika mwsie ingin maju, maka harus menerapkan
sistem Barat. Mereka menganggap bahwa para ulama adalah kemdala
Mordenisasi, bahkan penyebab keterbelakangan Mesir dalam sosial politik dan
ekonomi.pemikiran dan gerakan kelompok kedua ini, banyak mendapat
dukungan daari pemerintah, sehingga dalam hal tertentu mereka dapat menjalankan
program-programnya.
Hanafi sendiri tidak begitu setuju dengan gagasan-gagasan
kelompok pemikiran diatas, meski awal karier intelektualnya pernah berpihak
pada kelompok pertama, tetapi pemikirannya mengalami proses dengan banyak
dipengaruhi oleh kelompok dua dan tiga, terutama setelah belajar di prancis.
Pemikiran
Karena menganggap teologi islam tidak ‘ilmiah’ dan tidak
‘membumi’, Hanafi mengajuka konsep baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk
menjadikan teologi bukan sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong, melainkan
menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan social,menjadikan keimanan berfungsi
secara actual. Karena itu gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi,
berusaha untuk mentransformasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris
menuju antroposentris dari Tuhan kepada manusia (bumi). Pemikiran ini
didasarkan pada dua alasan yaitu : pertama, kebutuhan akan adanya
sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara
berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat
teoritik tetapi sekaligus praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam
sejarah.
Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap
tidak berkaitan dengan realitas social, Hanafi menawarkan dua teori. Pertama,
analisa bahasa. bahasa dan istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek
moyang dalam bidang teologi yang khas dan seolah-olah sudah menjadi
doktrin. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi analisa ini dilakukan untuk
mengetahui latar belakang historis-sosiologis, munculnya teologi di masa lalu
dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Dan
berguna juga untuk menentukan stressing bagi arah dan orientasi teologi
kontemporer.
Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha
untuk mencari hakekat sebuah fenomena atau realitas. Untuk sampai pada
tingkatan tersebut, menurtu Husserl (1859-1938) sang penggagas metode ini,
peneliti harus melalui minimal dua tahapan penyaringan (reduksi).
Reduksi fenomenologi dan reduksi eidetic. Pada tahap pertama, atau biasa
disebut dengan metode apache. Hanafi menggunakan metode ini untuk
menganalisa dan memahami realitas social, polotik dan ekonomi. Hanafi ingin
agar realitas islam berbicara bagi dirinya sendiri, bahwa islam adalah Islam
yang harus dilihat dari kacamata islam itu sendiri, bukan dari Barat. Jika
Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga dilihat dari Barat, akan
terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.
Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau symbol.
Meatode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau uang
tidak dialamai, kemudian dibawa ke msa sekarang. Hanafi menggunakan meatode
Hermeneutik untuk melanfingkan gagasannya berupa antroposentrisme teologis dari
wahyu kepada kenyataan, bagi hanafi yang dimaksud hermeneutic bukan saja
intepretasi tetapi ilmu yang menjelaskan tentang pikiran tuhan kepada tingkat
dunia, dari yang sacral menjadi realitas social.
praksis Teologi Hanafi
Dari dua konsep di atas, ditambah metode pemikiran yang
digunakan, Hanafi mencoba merekontruksi teologi dengan cara menafsir ulang tema
teologi klasik secara metaforis analogis. Dibawah ini dijelaskan tiga pemikiran
penting Hanafi yang berhubingan dengan tema-tema kalam, dzat Tuhan, sifat-sifat
Tuhan dan mengenai Tauhid. Disini terlihat Hanafi mencoba mengubahe term-term
keagamaan dari yang spiritual dan sacral menjadi sekedar material, dari yang
teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam rangka untuk
mengalihkan perhatian dan pandangan umat islam yang cenderung metafisik menuju
sikap yang lebih berorientasi pada realitas empirik. Lebih jelas tentang
pemikiran Hanafi mengenai sifat-sifat (aushaf) Tuhan yang enam: wujud, qidam
baqa’, mukhalafah li al-hawaditsi, qiyam binafsih dan wahdaniyah.
Wujud, menurut
Hanafi wujud di sini tidak menjelaskan wujud tuhan, Karena Tuhan tidak
memerlukan pengakuan. Tanpa manusia Tuhan tetap wujud, wujud disini berarti tajribah
wujudiyah pada manusia. Qidam (dahulu) berarti pengalaman
kesejahteraan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia di dalam sejarah.
Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejahteran untuk digunakan
dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam
kesesatan, taqlid dan kesalahan. Ketiga Baqa’ berarti kekal, pengalaman,
kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana berarti tuntutan manusia untuk
membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana.
Keempat mukhalafah li al-hawaditsi berbeda dengan
yang lainnya dan qiyam binafsih berdiri sendiri, keduanya
tuntutan agar umat manusia manusia mampu menunjukan eksistensinya secara
mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan
budaya orang lain. Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik-titik pijak
dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk
mencapai sebuah tujuan akhir. Kelima, wahdaniyah. (keesaan) bukan
merujuk pada keesaan Tuhan, penscian Tuhan dari kegandaan (syirik) yang
diarahkan pada faham trinitas, maupun politheisme, tetapi tetapi lebih
mengarah pada eksperimentasi kemanusiaan.
Dengan penafsiran term kalam yang
serba materi dan mendunia ini, maka apa yagn dimaksud dengan istilah tauhid
ini, bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada
faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan
pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistic, seprti hipokrit, kemunafikan
ataupun perilaku oportunitik.
Menurut Hanafi, apa yang dimaksud
tauhid bukan berarti sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar
konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah ke
tindakan konkrit, baik dari sisi penafian maupun penetapan. Dengan demikian
dalam konteks kemanusiaan yang lebih konkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan
social masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin.tauhid berarti kesatuan
kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan
masyarakat maju dan berkembang.
Jika Kiri Islam baru merupakan
pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya,
buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir
sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian
terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam
kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku
ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Epilog
Berdasarkan uraian diatas disampaikan beberapa hal, Pertama,
dari sisi metodologis, Hasan Hanafi ada kesamaan dengan cara berfikir barat.
Kesamaannya teletak pada persoalan arab (Islam) dalam konteksnya sendiri,
statemennya bahwa kemajuan islam tidak bisa dilakukan dengan cara mengadopsi
Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas khasanah, pemikiran
islam sendiri jelas modal pemikiran fenomenologi Husserl. Kedua dari sisi
gagasan, jika ditelussuri dari sisi gagasan dari para tokoh sebelumnya, terus
terang apa yang disampaikan Hanafi dari rekontruksi kalamnya bukan sesuatu yang
baru, dalam makna yang sebenarnya. Apa yang disampaikan bahwa deskripsi dzat
dan sifat Tuhan adalah deskripsi mengenai manusia iedeal, yang telah
disampaikan oleh Mu’tazillah dan kaum sufis, begitu pula konsepnya tentang tauhid
yang mendunia telah disampaikan oleh klangan Syi’ah. Tetapi hanafi mampu
mengemas konsep-konsep tersebut secara lebih utuh, jelas dan up to date.
Merespon kondisi tersebut, Hasan Hanafi dengan Kiri Islamnya
sangat menentang peradaban Barat, khususnya imperialisme ekonomi dan
kebudayaan. Hasan Hanafi memperkuat umat Islam dengan memperkokoh tradisinya
sendiri. Karena itu, tugas Kiri Islam yang merupakan salah satu gagasan
progressifnya adalah: Pertama, melokalisasi Barat pada batas-batas alamiahnya dan
menepis mitos dunia Barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi
kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain.
Kedua, mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas kebaratannya.
asal-usulnya, kesesuaian dengan latar belakang sejarahnya, agar Barat sadar
bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan kemajuan. Ketiga,
Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan Barat sebagai objek kajian,
yakni sebagaimana yang dia tulis dalam Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb
(Pengantar Oksidentalisme). Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi merupakan suatu
upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk
mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi
agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.
Sumber bacaan
Soleh, A.Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat
Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Syahrin.1994. Al-qur’an dan Sekularisasi Kajian
Kritis Terhadap Pemikiran Taha Husain. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Hanafi, Hasan. 1981. Muqaddimah fi Ilm Al-Istighodh. Kairo
: Dar Al-Faniyah.
Su
Tidak ada komentar:
Posting Komentar