Rabu, 12 Desember 2012

Sekilas Biografi Gramsci



Anda tidak mengenal Gramsci ?
sungguh menyedihkan sekali anda ini...........

 Mari Nikmati Perkenalan singkat ini
Kecemerlangan pemikiran Gramsci, untuk beberapa waktu belum begitu terkenal di kalangan akademisi-akademisi sosial se-zaman. Dengan pertimbangan sebuah bahasa yang terlanjur “menghegemoni” ketika itu, kedikenalannya baru mencuat sesudah penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Inggris. Pemikir bernama lengkap Antonio Gramsci, lahir di Italia, pada tanggal 22 Januari 1891. Meski terlahir dari keluarga kelas bawah, ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Turin setelah mendapatkan beasiswa. 

Tidak hanya bertengger pada gelar seorang pemikir, ia juga dikenal sebagai aktivis gerakan-gerakan sosial di Turin, Italia, sewaktu masih bertitel mahasiswa. Dari sini, aktivitasnya sebagai seorang aktivis terus meroket. Tahun 1913, ia bergabung dengan Partai Sosialis Italia, sembari bekerja di media massa kaum sosialis di Turin. Aktivitasnya juga diimbangi dengan perkembangan dalam bidang pemikiran. Ia fokus pada perlawanan terhadap ideologi dominan yang disebar-luaskan oleh negara.

Menginjak tahun 1922, Gramsci pindah ke Rusia dan bekerja di Moskow Wina hingga tahun 1924. Di sinilah ia mulai melancarkan pemikiran-pemikiran kritis tentang sosialisme. Setelah itu ia kembali ke Italia dan tak lama kemudian terpilih sebagai anggota parlemen pada tahun 1924, sebagai wakil dari golongan sosialis. Yang penting pada fase ini, ia berupaya melakukan transformasi terhadap Partai Komunis yang ketika itu tidak lagi partai terbuka, melainkan sekterian. Ia berjasa mengembangkannya menjadi partai yang berakar pada gerakan massa.


Tahun 1926 ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh pemerintahan fasis Mussolini. Namun layaknya pemikir-pemikir lain, suasana kesendirianlah yang melecut daya intelektualnya untuk menuangkan pikiran-pikiran. Di sana ia tuangkan konsepnya mengenai apa yang disebut organic intellectuals. Sejak saat itu, buah-buah pemikirannya seperti sedang panen. Pemikiran tentang hegemony, negara dan civil society, berbuah pada masa itu.

Ke semua pemikirannya tertumpah dalam 34 buku catatan harian Gramsci, yang ditulisnya dalam masa pengawasan ketat dan pesakitan. Masing-masing buku harian berisi beberapa konsep. Pilihan dari isi diary-nya ini yang nantinya disulap menjadi buku berjudul The Prison Notebooks.

Singkat cerita, setelah menderita sakit berkepanjangan, 27 April 1937 Gramsci tewas meregang nyawa di kamar penjaranya sendiri. Adalah Tatiana, seseorang yang mengurus pemakamannya, yang berhasil “mengamankan” catatan harian ilmiah itu.

Politik

Bagi Gramsci politik bukanlah sekedar upaya untuk meraih kekuasaan. Namun lebih luhur lagi, politik adalah seni bagaimana seseorang mampu mengakomodir semua kepentingan masyarakat dengan baik.
Realitas yang terjadi di Italia semasa ia hidup tidak mencerminkan pengertian yang didefenisikannya di atas. Oleh karenanya ia mengeluarkan pisau analisa: hegemoni.

Hegemoni

Seperti telah disebutkan di awal, melalui konsep hegemoninya Gramsci mencoba menganalisa eksploitasi wong cilik dengan kerangka yang lebih santun. Baginya, masyarakat kelas atas, atau borjuis, atau pemerintah, atau negara, atau apalah nama lainnya, kerap menggunakan konsep hegemoni dalam rangka mengamankan kedudukan mereka sebagai penguasa.

Lalu apa itu hegemoni? Secara sederhana, hegemoni dapat dipahami sebagai upaya pemerintah (status quo) dalam mendominasi publik atau masyarakat dengan cara yang “jinak”. Dalam praktiknya, kelas dominan, tanpa disadari sebenarnya “mengontrol kesadaran” kelas terdominasi. Oleh karenanya merupakan sebuah kekeliruan ketika hegemoni dianggap bekerja hanya secara represif. Pada titik inilah Gramsci menjawab kegelisahan Marx, ihwal mengapa revolusi tak kunjung terjadi.

Bagaimana bisa hegemoni muncul? Mengapa kelas terdominasi tidak menyadari skenario itu? Ia muncul dengan alasan yang cukup sederhana. Terpenuhinya akses atas ruang material (economic space) dan saluran berpendapat (political space) bagi kelas proletar adalah dalang dibalik itu semua. Sebangun dengan premis itu, di satu sisi kelompok dominan berhasil memberikan akses ekonomi dengan memberi keringanan dalam dunia kerja, melalui semacam bonus-bonus dan asuransi semu. Sementara di sisi lain, kelompok dominan memberikan keleluasaan masyarakat untuk berekspresi, berserikat, berkumpul, dan lain sebagainya.

Jika pun dalam “berkah” kebebasan berekspresi itu masih juga ada perlawanan (pressure group), bagi Gramsci, kelompok dominan tidak hanya selalu bekerja dengan cara mengekang kelompok oposisi tersebut, namun malah “bekerjasama” secara halus dengannya. Caranya bagaimana? Ada dua cara, yaitu apa yang disebut leading (memimpin) dan dominant (mendominasi). Dalam hegemoni, leading ditujukan kepada kelompok yang bisa diajak bernegosiasi untuk menciptakan aliansi-aliansi baru. Sementara dominant dilakukan untuk menutup saluran perlawanan dari kelompok penekan (pressure group). Inilah yang dalam leksikon ilmu politik dikenal dengan istilah stick and carrot policy (politik belah bambu).

Pada tahap ini Gramsci mendapat ilham dari konsep “virtue-nya” Macchiavelli. Kembali mengingat, virtue dalam kosa kata Macchiavelli diartikan sebagai kemampuan seorang pemimpin untuk menaklukkan masyarakat, yang diumpamakan seperti rayuan maut pria kepada wanita untuk merebut hatinya. Dalam catatannya terhadap Macchiavelli, Gramsci menggunakan  istilah  centaur, sebuah mitologi Yunani dengan wujud setengah  hewan setengah manusia, sebagai simbol dari “standar ganda” suatu tindakan politik.

Selain itu, hegemoni tidak hanya dapat dilakukan oleh kelas penguasa (mendominasi). Ia bisa menjadi semacam “senjata makan tuan” oleh masyarakat dalam meng-counter penguasa. Untuk mewujudkan revolusi, masyarakat  harus melakukannya dengan jasa sang “intelektual organik” yang akan balik menghegemoni penguasa dalam memimpin revolusi.

Intelektual Organik

Tatkala praktik hegemoni oleh penguasa sudah demikian akut dan semakin menjadi-jadi, kelas terdominasi mesti menghegemoni balik mereka. Untuk apa? Tiada lain demi tujuan membebaskan masyarakat dari kesadaran semu itu. Caranya bagaimana? Adalah dengan memberkan pendidikan politik yang akan mewujudkan kesadaran kolektif masyarakat. Dalam kerangka inilah intelektual dianggap penting guna memberikan pendidikan itu.

Gramsci membedakan kelompok intelektual ini menjadi dua. Pertama, intelektual tradisional, adalah kelompok intelektual yang bekerja hanya dikarenakan faktor ekonomi. Kedua, intelektual organik, yaitu kelompok yang benar-benar memiliki kemampuan mengorganisir dan memimpin aktivitas reformasi moral dan intelektual. Pembedaan ini lebih disebabkan karena telah terjadi penurunan makna intelektual dalam kelompok intelektual tradisional.

Dari penjelasan singkat di atas,  kita mengetahui bahwa hegemoni tidak saja hanya dimonopoli oleh penguasa. Namun  ia bisa menjadi umpan balik oleh masyarakat terdominasi untuk menyerang penguasa. Bedanya, ada pada tujuan hegemoni itu dilakukan. Artinya, cara yang digunakan masing-masing kubu boleh jadi sama, namun tujuan hegemoni itu sendiri dilakukan memiliki dasar berbeda. Penguasa bertujuan melanggengkan kekuasaan selama mungkin, sementara masyarakat bertujuan mewujudkan masyarakat sosialis atau dalam istilahnya: civil society.

Civil Society

Makna yang dimaksud dengan civil society tidak secara eksplisit dijabarkan Gramsci. Namun ia mengidentifikasinya, bahwa masyarakat sipil adalah masyarakat yang memiliki privasi, otonom, serta terlepas dari proses produksi (pemodal dan buruh). Sejalan dengan cita-cita awal pemikirannya, dalam masyarakat sipil yang dimaksud Gramsci, kepentingan dari semua kelompok terakomodir. Ini tidak hanya perkara perjuangan kelas, namun lebih-lebih juga memperjuangkan demokrasi berbasis kerakyatan.
Akan tetapi jangan dikira konsep civil society dalam pandangan Gramsci seindah yang dibayangkan. Baginya, di dalam “wadah” itu tetap terjadi pertarungan, yakni pertarungan hegemoni oleh setiap kelompok dalam bingkai etika dan moral.

Uraian Gramsci mengenai hegemoni berhasil membawa kita untuk melihat politik seadanya (realis). Seperti dikatakan Hans Morgenthau dalam Politics Among Nations, sejarah pemikiran politik sejauh ini memang terbagi ke dalam dua arus utama. Arus pertama memandang politik dengan kacamata “yang baik”, atau dapat diartikan sebagai politik adiluhung, yaitu apa yang seharusnya dilakukan (dimensi etis). Sementara arus besar kedua, mengurai politik dengan pendekatan praktik-praktik nyata yang dilakukan oleh aktor politik, pendek kata: seadanya (dimensi praksis).


Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar