Senin, 10 Desember 2012

Nak, Maafkan Bapak menyuruhmu ke Sawah





Nak, Bapakmu ini tidak mampu membiayai pendidikanmu. Bapakmu ini hanya seorang petani miskin, yang tidak mampu mengyekolahkanmu sampai sarjana. Sementara Emakmu hanya perempuan buruh cucian tetangga. Maafkan Bapakmu nak, Bapak tidak seperti bapak-bapak yang lain. Maafkan bapakmu ini, tidak mampu membelikanmu sepeda motor . Maafkan bapakmu, atas ejekan yang menimpamu, karena disaat teman sebaya umurmu menikmati masa muda untuk belajar dan bermain. Justru Bapak menyibukkanmu untuk mencangkul dan meneruskan warisan pekerjaan leluhur kita. Pekerjaan sebagai seorang petani tidak mudah nak, pekerjaan ini tidak membutuhkan baju dan jas berdasi, tidak memerlukan pena dan ruangan ber-AC. Tidak membutuhkan omongan yang bertele-tele dan sok intelek. Pekerjaan ini berat nak, kamu harus berkelahi dengan matahari, menahan pukulan teriknya, yang membuat raut wajahmu lebam menghitam. 

Bapakmu sangat menyadari, bahwa kam ingin meneruskan kuliah. Namun keadaan orang tuamu ini sangat tidak memungkinkan untuk mewujudkan impianmu. Entah mengapa disaat harga Tembakau melambung tinggi, justru Bapakmu tidak mendapatkan keuntungan yang berlimpah. Padahal sudah semenjak setahun lalu, Bapak mempersiapkan segala sesuatunya agar kamu bisa seperti yang lainnya, melanjutkan kuliah dan menjadi orang hebat yang pandai berbicara. Panen kali ini, bukan Bapakmu yang diuntungkan, tetapi para cukong dan tengkulak Tembakau yang menikmati untung. Bapakmu bersusah payah menanam dan tetek-bengeknyasampai pada musim panen. Ibarat bapak yang kepayahan, tapi justru mereka merampok hasil keringat Bapak secara tidak langsung.

Bapak dan Emakmu sangat sedih, bahkan air mata terasa sudah kering untuk melengkapi derita ini. Adik-adikmu juga harus berhenti sekolah dan harus melupakan waktu bermainnya dengan anak-anak lainnya. Bapak bingung nak, apa harus bapak jual sawah saja untuk membiayaimu kuliah?. Bapak ingin sekali, kamu meninggalkan kampung halaman dan mencari ilmu di tanah rerantauan. Bapak ingin sekali kamu bertahan hidup tanpa ada keluhan di tanah rerantauan. Bapak ingin kamu hidup lebih baik dengan masa depan yang menakjubkan. Bapak berangan kamu dapat melanjutkan kuliah dan dikemudian hari bapak datang saat pelepasan kamu diwisuda. Betapa bapak memimpikan hal tersebut. Melihatmu memakai Toga dan menjadi lulusan terbaik “Suma Cumlaude” .  Betapa sangat membanggakan. Namun, ah…….

Suasanapun terdiam tanpa ada sepatah katapun, hanya isak tangis seorang Emak yang terdengar lirih dan Bapak yang mencoba tegar, walau jelas dimatanya, sudah nampak genangan air mata. Lantas terdengar suara……

Pak, Emak mengapa harus bersedih?, anakmu ini bangga dilahirkan di bumi Tuhan, anakmu ini sangat bersyukur dengan apa yang sudah Tuhan putuskan. Anakmu ini tidak ada rasa sesal sedikitpun menjadi anak petani. Biar saja, mereka mencibir anakmu ini kampungan dan tidak berpendidikan, biar saja mereka menganggap anakmu ini anak orang-orangan sawah. Anakmu ini sudah sangat berterima kasih disekolahkan sampai SMA. Anakmu ini bangga pergi kesawah dengan caping, cangkul dan berpakaian lusuh compang-camping. Anakmu ini tidak perlu kuliah seperti anak-anak tetangga kita. Anakmu ini lebih suka bekerja di sawah, dari pada harus pontang-panting menjajakan ijazah gelar sarjana pada pabrik-pabrik. 

Anakmu ini, merasa merdeka bekerja di sawah tanpa ada aturan-aturan atau kode etik gelar kesarjanaan. Anakmu ini ingin mandiri dari pada harus bekerja pada orang lain dan pabrik. Anakmu tidak ingin kuliah, anakmu ini hanya ingin belajar. Apa belajar harus kuliah terlebih dahulu Pak? Mak?. Anakmu malu ketika harus mengikuti seleksi CPNS. Bukankah CPNS itu Calon Pengangguran Negeri Sipil?. Jangan menangis lagi, anakmu sudah memilih, memilih untuk merdeka. Doakan anakmu Mak, Pak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar