Senin, 10 Desember 2012

Saya, Anda dan Mereka Sangat Menikmati Kapitalisme


Kemarin, seorang kawan menanyakan apakah pertarungan antara kapitalisme dengan komunisme sudah berakhir?  saya pribadimelihat pertentangan tersebut masih ada, namun dalam skala kecil dan gaungnya tidak sebesar ketika soviet masih berdiri. Hal ini juga sempat di singgung sama Slavoz Zizek; empat puluh tahun atau lima puluh tahun yang lalu, orang masih ramai menebak-nebak akan seperti apa dunia kelak??? Fasis kah? Komunis kah? Atau kapitalis? Tapi lihat sekarang, orang lebih tertarik pada ramalan dunia tentang jatuhnya meteor, global warming, atau pembalikan medan magnet bumi yang dapat menyebabkan kehancuran dunia. Dari sini dapat di ambil kesimpulan, pasca runtuhnya komunisme akhir 90’an, orang cenderung melihat bahwa, kapitalisme dan demokrasi liberal adalah satu-satunya pemenang dalam panggung sejarah dunia, dan ini mendapatkan pembenarannya secara teori oleh Francis Fukuyama lewat tesisnya yang berjudul “The Last Man and The End of History”.

Inilah kecelakaan paling fatal dalam sejarah umat manusia. Dalam artian, perkembangan kapitalisme mutakhir telah mencapai taraf kemapanan tertentu yang menjadikan kritik serta perjuangan politis terhadapnya seolah-olah tidak dimungkinkan lagi. Seakan-akan sistem kapital ini tidak akan hancur meski dunia ini di tabrak meteor atau di gulung air bah sekalipun.  Dengan ini, kapitalisme telah di anggap sebagai sebuah sistem yang organis dan alamiah yang menyatu dalam kebersamaan hidup manusia secara mendasar.

Mungkin benar, manusia sekarang adalah manusia fatalistic. Orang di giring pada satu titik keyakinan bahwa sistem kapitalisme ini tidak mungkin dan tidak dapat hancur. Dus, manusia pun mengalami kebuntuan yang luar biasa. Dalam konteks ini, perjuangan apalagi yang masih mungkin setelah manusia mengalami pengadministrasian secara total dan menganggap kapitalisme tidak mungkin lagi untuk dibumihanguskan? Di titik inilah pertikaian atas nama ras, etnis, agama dan gender mendapatkan pendasarannya secara teori. Ya, seperti mendapatkan salurannya, manusia seperti kembali ke masa lampau yang sibuk memperjuangkan perbedaan kultural serta atribut-atribut primordial lainnya sebagai kompensasi atas matinya imajinasi akan kehancuran kapitalisme. Disaat manusia saling berperang satu sama lain, kapitalisme dengan tenang melenggang bebas bak peragawati yang berjalan diatas catwalk. Inilah wajah sesungguhnya dari kapitalisme modern yang menampilkan parodi globalisasi antara multikulturalisme dan fundamentalisme.

Berkicau soal pertikaian ideologi, saya melihat bahwa semua itu hanyalah kedok semata. Beranitaruhan, ideologi manapun yang ada di muka bumi, di era kapitalisme mutakhir seperti sekarang ini, pada akhirnya akan tunduk juga pada kuasa modal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar