Salah satu
tantangan bagi Amerika Serikat/Barat dan kaum Muslim moderat di dunia Islam
dewasa ini adalah tumbuh suburnya fundamentalisme Islam yang tidak segan-segan
menggunakan kekerasan dalam melampiaskan perasaan dan kepentingan mereka atas
nama Tuhan sebagai sandaran bagi legitimasi tindakan. Sudah semestinya para
pemimpin AS/Barat dan tokoh-tokoh islamisme di negara-negara Muslim mau
berdialog dan menggunakan pendekatan multikulturalisme baru untuk maju bertemu
di tengah jalan yang belum sepenuhnya buntu.
Ulil
Abshar-Abdalla dari Boston ,
AS , belum lama ini menyatakan
kita kini sedang menyongsong tibanya era baru, era Islam Politik. Intelektual
Mesir, Said al-Asymawi, menyebut fenomena naik daunnya Islam Politik sebagai
al-Islam al-Siyasi. Kemenangan Hamas di Palestina, menguatnya Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) di Indonesia, dan kemenangan Refah di Turki menunjukkan
datangnya era Islam Politik itu.
Kemenangan Hamas,
misalnya, langsung disambut reaksi amat negatif oleh Presiden Bush dan
Pemerintah Israel .
Presiden Bush menyatakan AS tidak akan bernegosiasi untuk perdamaian dengan
Hamas, kecuali jika yang terakhir ini menyatakan diri meninggalkan metode
kekerasan dan "terorisme" sebagai alat perjuangan dan menghentikan
niatnya menghancurkan Israel. Para analis melihat reaksi Washington ini tidak mengagetkan, bahkan
sudah bisa diduga.
Di tengah
menguatnya era Islam Politik ini, dalam batas-batas tertentu kunjungan Presiden
AS George W Bush, Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, dan Perdana Menteri
Inggris Tony Blair di Jakarta tahun 2006 merupakan langkah diplomatik dan upaya
historis pada tingkat global untuk memperbaiki relasi Islam-Barat yang menegang
pascaserangan AS/Barat ke Irak dan Afganistan, yang dilancarkan oleh AS/Barat
menyusul serangan teroris yang menghancurkan WTC New York (11/9/2001).
Peristiwa
September kelabu yang dijadikan alasan oleh AS/Barat menyerang apa yang mereka
sebut sebagai negeri pendukung teroris jaringan Osama bin Laden (seperti
Afganistan dan Irak) kemudian membangkitkan reaksi fundamentalisme Islam di
pelbagai belahan bumi. Meminjam perspektif Fareed Zakaria (The Future of
Freedom, 2003): kepercayaan yang rigid, doktriner, dan puritan yang
dikendalikan oleh para teokrat picik dan pemimpin komunitas religius fanatik
sungguh relatif mapan dan berpengaruh. Serangan kekuatan adidaya AS/Inggris dan
sekutunya ke Afganistan dan Irak memicu bangkitnya aksi terorisme transnasional
yang dilakukan para ekstremis Islam dengan klaim Jihad Islam. Kekerasan global
oleh AS/Barat telah dihadapi dengan aksi balasan oleh para Islamis radikal.
Akibatnya,
dengan pedih kita menyaksikan dunia terjerembap ke dalam spiral kekerasan pada
tahun-tahun berikutnya oleh aksi teroris fundamentalisme Islam seperti Bom
Bali, Bom Jakarta, Bom Irak, Bom Madrid, Bom London, Bom Mesir, dan seterusnya.
Situasi karut-marut ini semakin mendorong para islamolog, ahli strategi, dan
pakar terorisme memfokuskan studi fundamentalisme Islam sebagai salah satu
kajian epistemologis terpenting di Barat pada awal milenium ketiga ini.
Salah satu
tantangan bagi AS/Barat dan kaum Muslim moderat di dunia Islam dewasa ini
adalah tumbuh suburnya fundamentalisme Islam yang tidak segan-segan menggunakan
cara-cara kekerasan melampiaskan perasaan dan kepentingan mereka atas nama
Tuhan sebagai sandaran bagi legitimasi tindakan.
Fundamentalisme
Islam dan "Universitas Jihad"
Kelompok
fundamentalisme Islam atau Islamis radikal terbagi dalam dua kelompok. Pertama,
kelompok yang bersifat nasional dan regional, yang bergerak dalam satu negara
(nasional) dan beberapa negara (regional) tertentu. Kedua, kelompok yang
bersifat transnasional atau supranasional yang tidak terikat kepada negara
tertentu. Kelompok ini dikenal pula dengan nama neofundamentalis, neoislamis,
dan jihadis. Kaum fundamentalisme Islam atau Islam radikal umumnya menganggap
demokrasi sebagai sistem kufr, kafir. Berdasarkan prinsip ini, mereka semula
mengharamkan mengambil dan menerapkan sistem demokrasi.
Kelompok
Islamis radikal nasional dan regional adalah mereka yang berusaha mendirikan
negara Islam dengan menggunakan kekerasan, termasuk menghilangkan nyawa manusia
kalau perlu. Bagi kelompok ini, syarat pertama mencapai tujuan adalah
menjatuhkan secara paksa penguasa suatu negara (nasional) atau beberapa negara
(regional), mengambil alih kekuasaan, kemudian mendirikan negara Islam.
Kelompok Islamis radikal juga menggunakan konsep takfîr (Ramadan,
Fundamentalist Influence in Egypt: The Strategies of the Muslim Brotherhood and
the Takfir Groups, 1993:152), yaitu mengafirkan semua orang Islam di luar
kelompok mereka dan menghalalkan darah dan harta benda mereka. Berdasarkan
ajaran-ajaran tersebut, kelompok ini juga dikenal dengan nama Khawârij al-judud
(neo-Khawârij).
Adapun
Islamis radikal transnasional atau supranasional adalah kelompok Islamis yang
lebih memusatkan perhatian dan kegiatannya dalam memerangi pemerintah yang
selalu menekan dan hendak memberantas gerakan Islam di negaranya. Anggota
kelompok Islamis radikal transnasional tersebar di seluruh dunia. Umumnya
mereka menggunakan dua bahasa (Inggris dan Arab) dalam berkomunikasi. Mereka
berasal dari berbagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Mereka
direkrut dari berbagai kelompok Islamis, seperti Al Qaeda, Ikhwân al-Muslimîn,
Salafi, Jamaah Tabligh, Jamaah Islamiyah, dan Jama’at-i Islami.
Islamisme
dan Demokrasi
Syukurlah,
sejarah sedang berubah. Islam radikal dan fundamentalis yang antidemokrasi kini
sebagian bergabung ke dalam poros demokratisasi. Doktrin George W Bush dan kubu
neokonservatif (hawkish) di Gedung Putih yang telah lazim disebut imperialisme
demokratik seakan menemukan tantangan baru dengan kemenangan islamisme dalam
pemilu demokratis di dunia Islam, seperti Hamas di Palestina, Refah di Turki,
dan seterusnya.
Dalam kasus
Hamas, meminjam bahasa Fareed Zakaria (2006), AS menggunakan standar ganda
dalam agenda "imperialisme demokratiknya": menolak atau menegasikan
kemenangan kelompok islamisme yang dianggapnya hanya akan memunculkan kekuasaan
para fundamentalis Islam semacam mullah ala Iran atau teokrat ala Taliban.
Setidaknya fakta ini telah menimbulkan fobia Islam dan menjadi momok bagi
AS/Barat dalam kasus Palestina yang masyarakatnya justru telah memilih
demokrasi.
Di
negara-negara Muslim kemenangan Islam politik (baca: islamisme) dalam pemilu
yang demokratis sebenarnya merupakan suatu pengalaman dan perkembangan baru.
Kemenangan elektoral Hamas di Palestina yang mengejutkan AS/Barat, seperti
halnya kemenangan Refah di Turki dan FIS di Aljazair tempo hari, semestinya
membuka mata hati AS/Barat tentang betapa signifikannya saling pengertian dan
pemahaman antara para pemimpin AS/Barat dan tokoh islamisme di dunia Muslim
dalam mempraktikkan demokrasi. Dalam konteks Palestina, penyusunan skenario
oleh AS dan Israel untuk
menggulingkan Hamas hampir pasti kontraproduktif dan meningkatkan resonansi
politik anti-Barat di dunia Islam (New
York Times, 14/2/2005).
Kemenangan
Hamas membuktikan ketidaksahihan pandangan islamolog di Barat yang mengemukakan
bahwa islamisme telah mundur dan gagal memperjuangkan dan mempertahankan
kekuasaan politik di wilayah Muslim. Sekadar menyebut beberapa nama, Olivier
Roy (Globalised Islam: the Search for a New Ummah, 2004) dan Gilles Kepel
(Jihad: The Trail of Political Islam, 2002) mengungkapkan bahwa menjelang akhir
abad ke-20 lalu, gerakan-gerakan Islamis telah mundur dan gagal meraih
kekuasaan dengan jalan demokratis maupun nondemokratis (revolusi, kekerasan).
Serangan teroris di WTC New York dalam persepsi Roy dan Kepel merupakan upaya membalikkan
proses kemunduran itu, di mana tindakan itu sejatinya merupakan simbol
keputusasaan dari isolasi, fragmentasi, dan kemunduran islamisme.
Namun, dewasa
ini sejarah berbicara lain. Pandangan para islamolog dan orientalis itu tidak
selalu benar. Fakta historis memperlihatkan bahwa di Palestina Hamas memenangi
pemilihan umum. Di Turki Refah masih berjaya. Di Lebanon Hizbullah terus
berkembang. Di Iran dan Irak politik Syiah terus menguat. Sementara itu, di
kawasan Asia Tengah (Uzbekistan, Kirgistan, Kazakhstan, dan Tajikistan) gerakan
Hizbut Tahrir memperoleh dukungan rakyat dengan meyakinkan. Hizbut Tahrir
berkembang di kawasan itu karena tidak ada kelompok oposisi yang efektif. Situasi
ini, meminjam studi Cornell and Spector (Central Asia :More
Than Islamic Extremists, 2002), dimanfaatkan Hizbut Tahrir dengan
memperlihatkan dirinya sebagai satu-satunya kelompok oposisi terhadap elite
penguasa. Tiadanya kekuatan oposisi sekuler di Asia Tengah telah mendorong
Hizbut Tahrir menjadi political vehicle yang reasonable, apalagi mereka
memiliki kemampuan berorganisasi yang baik dan memperoleh sumbangan dana dari
negara-negara Timur Tengah untuk mengembangkan kegiatan politiknya.
Multikulturalisme
Berbagai
kemenangan islamisme dalam pemilu demokratis di kawasan-kawasan Muslim
hendaknya membuka mata batin AS/Barat bahwa Islam compatible dengan demokrasi
dan ada kesempatan besar untuk mencari solusi bersama guna mewujudkan tatanan
dunia yang demokratis, damai, dan toleran. Seperti pernah dikatakan
Indonesianis almarhum Daniel S Lev dan R William Liddle (Ohio State University,
AS) bahwa masalahnya bukanlah benturan peradaban maupun the clash of
globalizations antara Barat dan dunia Islam, melainkan konflik kepentingan atau
benturan kepentingan yang selama ini mewarnai relasi Islam dan AS/Barat
Kaum Islamis
di Hamas, Refah, Hizbullah, Syiah, dan Hizbut Tahrir serta organisasi sejenis
di berbagai negara Muslim semestinya dipandang oleh AS/Barat sebagai
"mitra taktis" jika bukan "mitra strategis" untuk
memungkinkan AS/Barat mengajukan tawaran baru dan insentif guna menciptakan
suatu wawasan baru yang memungkinkan terwujudnya tatanan dunia yang demokratis,
damai, dan toleran itu dalam batas-batas kemampuan dan sumber daya yang ada.
Dalam konteks
itu jelas diperlukan kesadaran baru di kalangan pemimpin, intelektual, dan
elite AS/Barat tentang pentingnya dialog peradaban, demokratisasi, pluralisme,
dan multikulturalisme di kalangan bangsa-bangsa Muslim dan Barat agar tragedi
WTC yang mengerikan itu tidak terulang kembali. Pada aras ini kunjungan
Presiden AS George Bush, Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, dan Perdana
Menteri Inggris Tony Blair di Jakarta (2006) diharapkan memiliki dampak dan
"makna" bagi relasi Islam-Barat ke depan. Kunjungan itu menjadi
perhatian masyarakat politik di dunia Islam. Bush, Rice, dan Blair
menggarisbawahi keberhasilan demokratisasi di Indonesia terus memajukan moderasi
dan membangun toleransi antarumat beragama, ras, dan etnisitas.
Dalam hal
ini, sudah semestinya para pemimpin AS/Barat dan tokoh-tokoh islamisme di
negara-negara Muslim mau berdialog dan menggunakan pendekatan multikulturalisme
baru untuk maju bertemu di tengah jalan yang "belum sepenuhnya
buntu". Bahwa benturan peradaban antara dunia Islam dan AS/Barat yang
dibayangkan itu sesungguhnya lebih sebagai self-fulfilling prophecy AS/Barat
saja. Multikulturalisme di sini merupakan suatu paham dan pendekatan yang
menawarkan perspektif kebudayaan dan agama dalam memahami perbedaan-perbedaan
yang ada selama ini. Selain itu, multikulturalisme itu bukanlah cara pandang
yang menyamakan kebenaran agama-agama, melainkan justru mendorong pihak-pihak
yang berbeda untuk saling menghormati perbedaan dan kebhinekaan bukan karena pengakuan
terhadap kebenaran agama dan keyakinan mereka, tetapi karena masing-masing
harus menghormati nilai dan tradisi pihak lain dalam kehidupan sosial, politik,
dan keagamaan.
Pendekatan
multikulturalisme ini relevan bagi upaya membangun dialog antara para pemimpin
AS/Barat dan para tokoh islamisme di negara-negara Muslim. Untuk tidak
menyia-nyiakan kesempatan yang terbuka pada era demokratisasi dewasa ini, kedua
belah pihak hendaknya tidak berbenturan akibat salah pengertian, salah paham,
dan konflik kepentingan tak berkesudahan yang berdampak multiplikasi,
menghabiskan sumber daya, dan saling membinasakan. Kita telah melihat bahwa
serangan AS terhadap Irak dan Afganistan begitu masif dan cepat dilakukan,
namun perdamaian acap kali jauh lebih sulit diwujudkan meski perang itu sendiri
bisa diakhiri. Sejarah sudah menunjukkan kenyataan pahit dan muram ini. (Paramadina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar