Selasa, 08 Januari 2013

Rethinking Gerakan Mahasiswa


Masihkah Mereka Pahlawan-Pembela Rakyat ataukah Bukan Siapa-siapa ?

Mahasiswa adalah bagian dari entitas kemajemukan-sosial masyarakat Indonesia. Kehadirannya dalam setiap momentum sejarah bangsa ini, memberikan  ruh keadilan bagi setiap ketertindasan masyarakat. Kepeduliannya terhadap ketimpangan sosial,adalah bentuk sikap kontrol terhadap kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh  pemerintahan di setiap zamannya. 

Secara historisitas, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memiliki sejarah yang cukup tragis. Imperialisme bangsa-bangsa Eropa, terlebih imperalisme Belanda dan Jepang telah  menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang dirugikan secara ekonomi, politik, budaya, pendidikan, keamanan dan sebagainya. Eksploitasi kekayaan alam Indonesia secara membabi buta, pembodohan  terhadap rakyat, semakin memperparah keadaan masyarakat Indonesia.

Perlu diketahui kemerdekaan Indonesia bukanlah sesuatu yang didapatkan secara gratis, darah menjadi taruhannya. Diperlukan keberanian dan pengorbanan, tanpa keberanian Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir dan beberapa tokoh lainnya serta dukungan penuh rakyat Indonesia, mustahil Indonesia merdeka. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, pemuda dan mahasiswa selalu memegang kunci penting guna menentukan masa depan Indonesia.


Pengalaman pahit dijajah oleh bangsa lain, membuat rakyat Indonesia sadar akan pentingnya kemerdekaan. Merdeka dari imperealisme fisik adalah perjuangan yang harus dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia dan kemerdekaan yang kita rasakan sekarang ini, haruslah kita hargai. Bukan suatu pekerjaan mudah bagi kita untuk  meneruskan perjuangan para founding fathers bangsa ini.

Pejalanan sejarah bangsa Indonesia tidak pernah terlepas dari gejolak perjuangan gerakan mahasiswa dan pemuda. Hal ini dilihat dalam konfigurasi gerakan mahasiswa dan pemuda angkatan 08 sebagai bentuk gerakan “counter hegemony” terhadap penjajahan Belanda. Angkatan 08 ternyata mampu memberikan formulasi baru bagi terbentuknya kesadaran akan ketertindasan yang dialami oleh rakyat Indonesia. Budi Utomo sebagai salah satu bibit awal gerakan mahasiswa di Indonesia, mampu memotivasi bagi terbentuknya gerakan mahasiswa lainnya, seperti Jong Java, Jong Celebes, Sumatrend Bond dan gerakan mahasiswa lainnya dalam bingkai etnosentrisme masing-masing daerah.

Gerakan mahasiswa yang bercorak entosentrisme ini, akhirnya terakumulasikan dalam gerakan yang berorientasi pada terciptanya kesadaran nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesadaran nasional ini diterjemahkan dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928, dengan komitmen satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan satu bahasa Indonesia.

Keyakinan akan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia ini, memberikan harapan baru bagi gerakan mahasiswa menjelang proses kemerdekaan pada tahun 1945. Meskipun pada tahun 1942 Jepang memplokamirkan bangsa Indonesia sebagai tanah jajahan Jepang. Keberadaan Jepang di Indonesia, tidak menyurutkan nyali para pejuang kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan nasional angkatan 1908 sampai menjelang tahun 1945, seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh. Yamin , Tan Malaka  dan lain sebagainya tidak pernah berhenti memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka berjuang  murni untuk kepentingan bangsa dan negaranya sampai pada titik kulminasinya, tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta memplokamirkan kemerdekaan Indonesia.

Berbeda dengan gerakan mahasiswa angkatan 66, dimana gerakan mahasiswa ditumpangi oleh kepentingan politik. Ada satu persamaan antara angkatan 66 dan angkatan 08-45, yaitu organisasi ekstra kampus menjadi poros gerakan mahasiswa. Terbukti dari banyaknya organisasi ekstra kampus, diantaranya  CGMI, GMNI, PMII, HMI, GMKI dan lain sebagainya. Akan tetapi, gerakan mahasiswa ekstra kampus angkatan 66 merupakan kepanjangan tangan dari partai politik. Seperti CGMI menjadi kepanjangan tangan dari PKI, GMNI dengan PNI, PMII dengan NU dan HMI dengan Masyumi. “Setidaknya”, keberhasilan angkatan 66 adalah menggulingkan Soekarno dengan menjadikan komunis sebagai common enemy dan ikut serta membentuk  pemerintahan Orde Baru dibawah rezim militer Soeharto.

Apa yang dilakukan oleh angkatan 66 adalah sebuah keberhasilan semu, karena rezim Orde Baru justru lebih menyengsarakan rakyat. Berbagai penyimpangan dilakukan oleh Orde Baru untuk mempertahankan status quo pemerintahannya. Diantaranya adalah kecurangan Golkar pada pemilu, depolitisasi masyarakat, kasus Malari, NKK-BKK (1978-1979) yang melemahkan konsolidasi gerakan Intra Kampus, Dwi Fungsi ABRI, Developmentalisme, proyek Kuningisasi, pemerintahan yang sangat militeristik, KKN, missing person (penculikan aktivis), Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi dan beberapa penyimpangan lainnya. Kejenuhan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru, melahirkan gerakan Reformasi.

 Gerakan inilah yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. Bersatunya gerakan mahasiswa dari berbagai golongan (Intra-Ekstra dan aliansi gerakan mahasiswa lainnya) adalah kunci keberhasilan Reformasi. Berbeda dengan apa yang terjadi pada gerakan mahasiswa paska-Reformasi, fragmentasi gerakan mahasiswa menjadikan kekuatan mereka lemah. Sehingga dapat dilihat adanya kemerosotan di beberapa gerakan mahasiawa Intra Kampus dan Ekstra Kampus. Gerakan mahasiswa paska Reformasi tidak berhasil mengusung satu issue bersama untuk diperjuangan bersama layaknya ketika pecahnya Reformasi.

Neoliberalisme ;  Indonesiaku malang
Benarkah Reformasi telah gagal?. Mari kita refleksikan sejenak, hati nurani kita lebih mengetahui. Sudah saatnya kita mengakhiri romantisisme terhadap gerakan mahasiswa agar tidak terjebak dalam”Narsisme Revolusioner [1]”.  Terbukti sampai detik ini, gerakan mahasiswa semakin kehilangan taring tajamnya. Prestasi perjuangan mereka mulai diragukan oleh masyarakat Indonesia.

Indonesia sebagai salah satu bangsa yang dikategorikan sebagai negara dunia ke tiga, memiliki kekayaan alam yang cukup melimpah, akan tetapi mengapa Indonesia masih saja dilanda kemiskinan. Setelah masa Imperialisme fisik berakhir, ternyata Indonesia tidak terlepas dari Neo-Imperialisme dalam bentuk Kapitalisme-Neoliberal. Kapitalisme sebagai ideologi dunia berkembang setelah keruntuhan Feodalisme Eropa, tepatnya ketika perkembangan Revolusi Industri di Inggris (Abad 16). Dimana corak ascribed status dalam masyarakat feodal dihapuskan demi terciptanya Liberalistic Society, sebuah masyarakat dengan semangat kompetisi bebas dalam bidang ekonomi. Adam Smith (1723-1790) sebagai tokoh yang mempopulerkan laissez faire laissez passer, memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan Kapitalisme.

Perkembangan selanjutnya, Kapitalisme mengalami metamorfosa dalam bentuk canggihnya Neoliberalisme. Munculnya Neoliberalisme sebagai aliran kanan baru, ditopang dengan terpilihnya Margareth Thatcher sebagai perdana mentri Inggris (1979) dan terpilihnya Ronald Reagan sabagai presiden Amrika Serikat, serta berkembangnya para tokoh Mont Pelerint Society[2]. Hal ini semakin memperkuat kedudukan Neoliberalisme, sehingga dengan mudah Neoliberalisme melebarkan sayapnya di Eropa, Amerika, Asia (termasuk Indonesia) dan beberapa negara Afrika. Dari sinilah Juggernaut Neoliberalisme menggilas sebagian besar negara di belahan bumi ini.

Persoalan serius yang harus dilakukan  mahasiswa adalah bagaimana merumuskan sebuah gerakan alternatif agar Indonesia tidak habis digilas oleh Neoliberalisme. Sejak kapan sebenarnya Kapitalisme-Neoliberalisme menancapkan cengkeramannya di Indonesia. Pertanyaan yang cukup menarik untuk kita cermati lebih lanjut. Bangsa ini lahir, disaat perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Amerika sebagi perwakilan dari kekuatan besar Kapitalisme-Neoliberalisme terus saja menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Begitu juga dengan Rusia dengan paham Komunismenya, mencoba menggiring Indonesia dalam lingkaran pengaruh Rusia. Akan tetapi, Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia memiliki gagasan yang sangat strategis yaitu membentuk Gerakan Non Blok.

Posisi Indonesia secara ekonomi sangat penting bagi Amerika. Akan tetapi, karena adanya kecenderungan Soekarno terhadap Komunisme, maka Amerika melakukan manuver politik yang mengacaukan pemerintahan Soekarno yang tidak berpihak kepadanya[3]. Soekarno melihat pengaruh Amerika di Indonesia sudah berlebihan, maka dia melakukan manuver politik untuk membuat keseimbangan. Misalnya dengan menyelenggarakan KAA pada tahun 1945, membuat Poros Jakarta-Peking pada tahun 1962 dan keluar dari PBB[4]. Selain itu juga, lengsernya Soekarno ditangan gerakan mahasiswa angkatan 66, membuka jalan terang bagi terbukanya Kapitalisme-Neoliberalisme di Indonesia melalui  Bapak Pembangunanisme, Soeharto.

Mahasiswa sebagai agent of social change memiliki peluang untuk menghentikan secara perlahan arus  Kapitalisme-Neoliberalisme yang sedang menggerogoti bangsa ini. Eksploitasi, deregulasi dan swastanisasi menjadi mantra yang ampuh untuk melumpuhkan negara dan masyarakat. Dengan demikian, justru negaralah yang menjamin Kapitalisme-Neoliberalisme tumbuh subur di Indonesia. Segala aspek kehidupan masyarakat dijadikan objek Kapitalisme-Neoliberalisme. Mulai dari ekonomi, pendidikan, budaya, politik, media, gaya hidup masyarakat dan sebagainya.

Masyarakat Indonesia telah terhipnotis oleh apa yang kita sebut dengan Globalisasi. Identitas Kultural bangsa Indonesia hampir terkikis oleh Globalisasi. Terjadi semacam penguasaan Universalisme Peradaban Barat   terhadap Indonesia. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah terdapat arus kultur global yang bergerak begitu cepat dikendalikan oleh iklim Kapitalisme-Neoliberalisme; sebuah kultur dengan kekuatan dasar daya ekonomi[5].

Tumpulnya nalar kritis masyarakat Indonesia membuat mereka pasif dan terjebak dalam realitas semu kehidupan. Pendidikan hanya dijadikan  alat untuk menghegemoni masyarakat dan untuk mempertajam jurang kemiskinan masyarakat Indonesia. Pendidikan tidak dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengemansipasi manusia. Melihat fenomena seperti itu, kita sebagai civitas akademika UIN Sunan Kalijaga sudah saatnya menentukan strategi demi terjaminnya kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat kampus pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh sebab itu,  penulis ingin menyampaikan bahwa perlu adanya reframming pemikiran ditingkatan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Sebelum kita memberikan yang terbaik bagi Indonesia, mari kita berikan yang terbaik bagi kampus rakyat.







[1] Narsisme Reolusioner adalah kecnderungan para aktivis gerakan mahasiswa yang selalu ber-euphoria dengan sejarah, dan membanggakan diri sebagai aktivis tanpa ada gerakan praksis serta tidak adanya langkah kongkrit dalam memperjuangkan kaum tertindas (Jemaat NATO-No Action Talk Only). (Penulis)
[2] Anggota perumus neoliberalisme; Von Hayek (peraih nobel ekonomi 1974), von Mises, Friedman dan Karl Popper, meski tidak lama menjadi anggota.
[3] Hasyim Wakhid dkk, Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, Yogyakarta, LkiS,1999, hlm.21
[4] Ibid. hlm 23
[5] Mudji Sutrisno dan Hendar putranto, Hermeneutika Paskcakolonial ; Soal Identitas, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2008,terj.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar