Masihkah Mereka
Pahlawan-Pembela Rakyat ataukah Bukan Siapa-siapa ?
Mahasiswa adalah bagian dari entitas kemajemukan-sosial masyarakat Indonesia.
Kehadirannya dalam setiap momentum sejarah bangsa ini, memberikan ruh keadilan bagi setiap ketertindasan
masyarakat. Kepeduliannya
terhadap ketimpangan sosial,adalah bentuk sikap kontrol terhadap
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintahan di setiap zamannya.
Secara
historisitas, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memiliki sejarah yang
cukup tragis. Imperialisme bangsa-bangsa Eropa, terlebih imperalisme Belanda dan
Jepang telah menjadikan Indonesia
sebagai bangsa yang dirugikan secara ekonomi, politik, budaya, pendidikan,
keamanan dan sebagainya. Eksploitasi kekayaan alam Indonesia secara membabi
buta, pembodohan terhadap rakyat,
semakin memperparah keadaan masyarakat Indonesia.
Perlu
diketahui kemerdekaan Indonesia bukanlah sesuatu yang didapatkan secara gratis,
darah menjadi taruhannya. Diperlukan keberanian dan pengorbanan, tanpa
keberanian Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir dan beberapa tokoh lainnya
serta dukungan penuh rakyat Indonesia, mustahil Indonesia merdeka. Dalam
perjalanan sejarah Indonesia, pemuda dan mahasiswa selalu memegang kunci
penting guna menentukan masa depan Indonesia.
Pengalaman
pahit dijajah oleh bangsa lain, membuat rakyat Indonesia sadar akan pentingnya
kemerdekaan. Merdeka dari imperealisme fisik adalah perjuangan yang harus
dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia dan kemerdekaan yang kita rasakan
sekarang ini, haruslah kita hargai. Bukan suatu pekerjaan mudah bagi kita
untuk meneruskan perjuangan para founding
fathers bangsa ini.
Pejalanan
sejarah bangsa Indonesia tidak pernah terlepas dari gejolak perjuangan gerakan
mahasiswa dan pemuda. Hal ini dilihat dalam konfigurasi gerakan mahasiswa dan
pemuda angkatan 08 sebagai bentuk gerakan “counter hegemony” terhadap penjajahan Belanda. Angkatan 08
ternyata mampu memberikan formulasi baru bagi terbentuknya kesadaran akan
ketertindasan yang dialami oleh rakyat Indonesia. Budi Utomo sebagai salah satu
bibit awal gerakan mahasiswa di Indonesia, mampu memotivasi bagi terbentuknya
gerakan mahasiswa lainnya, seperti Jong Java, Jong Celebes, Sumatrend Bond dan
gerakan mahasiswa lainnya dalam bingkai etnosentrisme masing-masing
daerah.
Gerakan
mahasiswa yang bercorak entosentrisme ini, akhirnya terakumulasikan
dalam gerakan yang berorientasi pada terciptanya kesadaran nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kesadaran nasional ini diterjemahkan dalam Sumpah Pemuda pada tahun
1928, dengan komitmen satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan
satu bahasa Indonesia.
Keyakinan
akan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia ini, memberikan harapan baru bagi
gerakan mahasiswa menjelang proses kemerdekaan pada tahun 1945. Meskipun pada
tahun 1942 Jepang memplokamirkan bangsa Indonesia sebagai tanah jajahan Jepang.
Keberadaan Jepang di Indonesia, tidak menyurutkan nyali para pejuang
kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan nasional angkatan 1908 sampai
menjelang tahun 1945, seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh. Yamin , Tan
Malaka dan lain sebagainya tidak pernah
berhenti memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka
berjuang murni untuk kepentingan bangsa
dan negaranya sampai pada titik kulminasinya, tanggal 17 Agustus 1945
Soekarno-Hatta memplokamirkan kemerdekaan Indonesia.
Berbeda
dengan gerakan mahasiswa angkatan 66, dimana gerakan mahasiswa ditumpangi oleh
kepentingan politik. Ada satu persamaan antara angkatan 66 dan angkatan 08-45,
yaitu organisasi ekstra kampus menjadi poros gerakan mahasiswa. Terbukti dari
banyaknya organisasi ekstra kampus, diantaranya
CGMI, GMNI, PMII, HMI, GMKI dan lain sebagainya. Akan tetapi, gerakan
mahasiswa ekstra kampus angkatan 66 merupakan kepanjangan tangan dari partai
politik. Seperti CGMI menjadi kepanjangan tangan dari PKI, GMNI dengan PNI,
PMII dengan NU dan HMI dengan Masyumi. “Setidaknya”, keberhasilan angkatan 66
adalah menggulingkan Soekarno dengan menjadikan komunis sebagai common
enemy dan ikut serta membentuk
pemerintahan Orde Baru dibawah rezim militer Soeharto.
Apa
yang dilakukan oleh angkatan 66 adalah sebuah keberhasilan semu, karena rezim
Orde Baru justru lebih menyengsarakan rakyat. Berbagai penyimpangan
dilakukan oleh Orde Baru untuk mempertahankan status quo
pemerintahannya. Diantaranya adalah kecurangan Golkar pada pemilu, depolitisasi
masyarakat, kasus Malari, NKK-BKK (1978-1979) yang melemahkan
konsolidasi gerakan Intra Kampus, Dwi Fungsi ABRI, Developmentalisme,
proyek Kuningisasi, pemerintahan yang sangat militeristik, KKN, missing
person (penculikan aktivis), Tragedi
Trisakti, Tragedi Semanggi dan beberapa penyimpangan
lainnya. Kejenuhan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru, melahirkan
gerakan Reformasi.
Gerakan inilah yang berhasil menumbangkan rezim
Orde Baru. Bersatunya gerakan mahasiswa dari berbagai golongan
(Intra-Ekstra dan aliansi gerakan mahasiswa lainnya) adalah kunci keberhasilan
Reformasi. Berbeda dengan apa yang terjadi pada gerakan mahasiswa
paska-Reformasi, fragmentasi gerakan mahasiswa menjadikan kekuatan mereka lemah. Sehingga dapat
dilihat adanya kemerosotan di beberapa gerakan mahasiawa Intra Kampus dan
Ekstra Kampus. Gerakan mahasiswa
paska Reformasi tidak berhasil mengusung satu issue bersama untuk
diperjuangan bersama layaknya ketika pecahnya Reformasi.
Neoliberalisme ; Indonesiaku malang
Benarkah Reformasi telah gagal?. Mari kita
refleksikan sejenak, hati nurani kita lebih mengetahui. Sudah saatnya kita
mengakhiri romantisisme terhadap gerakan mahasiswa agar tidak terjebak dalam”Narsisme
Revolusioner [1]”.
Terbukti sampai detik ini, gerakan
mahasiswa semakin kehilangan taring tajamnya. Prestasi perjuangan mereka mulai
diragukan oleh masyarakat Indonesia.
Indonesia
sebagai salah satu bangsa yang dikategorikan sebagai negara dunia ke tiga,
memiliki kekayaan alam yang cukup melimpah, akan tetapi mengapa Indonesia masih
saja dilanda kemiskinan. Setelah masa Imperialisme fisik berakhir,
ternyata Indonesia tidak terlepas dari Neo-Imperialisme dalam bentuk Kapitalisme-Neoliberal.
Kapitalisme sebagai ideologi dunia berkembang setelah keruntuhan Feodalisme
Eropa, tepatnya ketika perkembangan Revolusi Industri di Inggris (Abad 16).
Dimana corak ascribed status dalam masyarakat feodal dihapuskan demi
terciptanya Liberalistic Society, sebuah masyarakat dengan semangat
kompetisi bebas dalam bidang ekonomi. Adam Smith (1723-1790) sebagai tokoh yang
mempopulerkan laissez faire laissez passer, memberikan pengaruh besar
terhadap perkembangan Kapitalisme.
Perkembangan
selanjutnya, Kapitalisme mengalami metamorfosa dalam bentuk canggihnya Neoliberalisme.
Munculnya Neoliberalisme sebagai aliran kanan baru, ditopang dengan
terpilihnya Margareth Thatcher sebagai perdana mentri Inggris (1979) dan
terpilihnya Ronald Reagan sabagai presiden Amrika Serikat, serta berkembangnya
para tokoh Mont Pelerint Society[2]. Hal ini
semakin memperkuat kedudukan Neoliberalisme, sehingga dengan mudah Neoliberalisme
melebarkan sayapnya di Eropa, Amerika, Asia (termasuk Indonesia) dan beberapa
negara Afrika. Dari sinilah Juggernaut Neoliberalisme menggilas sebagian
besar negara di belahan bumi ini.
Persoalan
serius yang harus dilakukan mahasiswa
adalah bagaimana merumuskan sebuah gerakan alternatif agar Indonesia tidak
habis digilas oleh Neoliberalisme. Sejak kapan sebenarnya Kapitalisme-Neoliberalisme
menancapkan cengkeramannya di Indonesia. Pertanyaan yang cukup menarik
untuk kita cermati lebih lanjut. Bangsa ini lahir, disaat perang dingin antara
Blok Barat dan Blok Timur. Amerika sebagi perwakilan dari kekuatan besar Kapitalisme-Neoliberalisme
terus saja menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Begitu juga dengan Rusia
dengan paham Komunismenya,
mencoba menggiring Indonesia dalam lingkaran pengaruh Rusia. Akan tetapi,
Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia memiliki gagasan yang sangat
strategis yaitu membentuk Gerakan Non Blok.
Posisi Indonesia secara ekonomi sangat
penting bagi Amerika. Akan tetapi, karena adanya kecenderungan Soekarno
terhadap Komunisme, maka Amerika melakukan manuver politik yang
mengacaukan pemerintahan Soekarno yang tidak berpihak kepadanya[3]. Soekarno melihat pengaruh
Amerika di Indonesia sudah berlebihan, maka dia melakukan manuver politik untuk
membuat keseimbangan. Misalnya dengan menyelenggarakan KAA pada tahun 1945,
membuat Poros Jakarta-Peking pada tahun 1962 dan keluar dari PBB[4]. Selain itu juga, lengsernya
Soekarno ditangan gerakan mahasiswa angkatan 66, membuka jalan terang bagi terbukanya
Kapitalisme-Neoliberalisme di Indonesia melalui Bapak Pembangunanisme, Soeharto.
Mahasiswa
sebagai agent of social change memiliki peluang untuk menghentikan
secara perlahan arus Kapitalisme-Neoliberalisme yang sedang
menggerogoti bangsa ini. Eksploitasi,
deregulasi dan swastanisasi menjadi mantra yang ampuh untuk melumpuhkan negara dan masyarakat. Dengan
demikian, justru negaralah yang menjamin Kapitalisme-Neoliberalisme
tumbuh subur di Indonesia. Segala aspek kehidupan masyarakat dijadikan objek
Kapitalisme-Neoliberalisme. Mulai dari ekonomi, pendidikan, budaya,
politik, media, gaya hidup masyarakat dan sebagainya.
Masyarakat
Indonesia telah terhipnotis oleh apa
yang kita sebut dengan Globalisasi. Identitas Kultural
bangsa Indonesia hampir terkikis oleh Globalisasi. Terjadi semacam penguasaan Universalisme
Peradaban Barat terhadap Indonesia. Kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri adalah terdapat arus kultur global yang bergerak begitu cepat
dikendalikan oleh iklim Kapitalisme-Neoliberalisme; sebuah kultur dengan
kekuatan dasar daya ekonomi[5].
Tumpulnya
nalar kritis masyarakat Indonesia membuat
mereka pasif dan terjebak dalam realitas
semu kehidupan.
Pendidikan hanya dijadikan alat untuk
menghegemoni masyarakat dan untuk mempertajam jurang kemiskinan masyarakat
Indonesia. Pendidikan tidak
dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengemansipasi manusia. Melihat
fenomena seperti itu, kita sebagai civitas akademika UIN Sunan Kalijaga sudah
saatnya menentukan strategi demi terjaminnya kehidupan yang lebih baik bagi
masyarakat kampus pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh
sebab itu, penulis ingin menyampaikan
bahwa perlu adanya reframming pemikiran ditingkatan mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga. Sebelum kita memberikan yang terbaik bagi Indonesia, mari kita berikan
yang terbaik bagi kampus rakyat.
[1] Narsisme Reolusioner adalah
kecnderungan para aktivis gerakan mahasiswa yang selalu ber-euphoria dengan
sejarah, dan membanggakan diri sebagai aktivis tanpa ada gerakan praksis serta
tidak adanya langkah kongkrit dalam memperjuangkan kaum tertindas (Jemaat
NATO-No Action Talk Only). (Penulis)
[2] Anggota perumus neoliberalisme;
Von Hayek (peraih nobel ekonomi 1974), von Mises, Friedman dan Karl Popper,
meski tidak lama menjadi anggota.
[3] Hasyim
Wakhid dkk, Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan
Indonesia, Yogyakarta, LkiS,1999, hlm.21
[5] Mudji
Sutrisno dan Hendar putranto, Hermeneutika Paskcakolonial ; Soal Identitas, Yogyakarta,
Penerbit Kanisius, 2008,terj.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar