Senin, 10 Desember 2012

Pemahaman Kelamin Ganda; Historisitas Kapitalisme-Neoliberalisme


Sejarah perkembangan Kapitalisme sebagai salah satu ideologi dunia barawal dari keruntuhan Feodalisme Eropa dan perkembangan Revolusi Industri di Inggris (abad 16). Dimana corak ascribed status yang mewarnai pola kehidupan masyarakat feodal Eropa. Sedangkan pergeseran masyarakat dari kelas feodal menuju liberalistic sosiety (identik dengan achieved status, semangat kompetisi) tidak dapat dipungkiri lagi. Adalah Adam Smith (1723-1790) tokoh pertama yang mempopulerkan gagasan ekonomi pasar bebas (liberalisme klasik) dengan semangat laissez faire laissez passer (dalam artian jika campur tangan pemerintah dalam perekonomian terlalu besar maka pasar akan mengalami gangguan).

Prinsip persuit of interest (mengejar kepentingan pribadi) menjadi kerangka kerja Kapitalisme. Ada semacam asumsi bahwa ketika kita memenuhi kebutuhan pribadi maka kebutuhan sosial masyarakat akan terpenuhi. Hal inilah yang di kritik oleh para tokoh ekonomi mazhab sosialis (David Ricardo dkk). Perkembangan industri mengilhami terbitnya maha karya The Wealth of Nation (1776) setebal 900 halaman. Buku ini merupakan rujukan bagi tata perokonomian Eropa dan negara maju lainnya, Amerika semisal. 

Runtuhnya bursa pasar saham Wall Street disertai depresi besar di era 1930-an menjadi pelajaran penting bagi kapitalisme. Guna mencari solusi atas depresi tersebut maka diadakan konferensi ekonomi internasional oleh PBB di Breton woods (A.S. 1944). Dalam konferensi itu para ekonom Neoliberal gagal dalam menawarkan gagasannya, seperti persaingan bebas, privatisasi dan swastanisasi. 

Munculnya paham Keynesian tentang Intervensionis Negara (yakni perlunya mengembalikan peran negara sebagai pembuat peraturan untuk memperbaiki tata perekonomian pasar) menjadi jawaban atas depresi tersebut. Perlu dicatat bahwa peran negara tidak hanya dalam proses regulasi pasar, tetapi juga diperluas guna menjamin terciptanya Negara Kesejahteraan “Welfare State”. Era inilah dimana Keynesian megalami kejayaannya. Paham ini dianut beberapa negara Eropa seperti Inggris, kemudian Amerika melalui The 1946 Employment Act menyerukan agar intervensi negara serta kepemilikan industri oleh negara menjadi suatu syarat bagi terciptanya Welfare State. 

Akan tetapi, banyak tokoh ekonom Neoliberal yang tidak sepakat dengan paham Keynesian. Hingga akhirnya pada tahun 1970-an terjadi pergeseran paham ekonomi. Paham Keynesian sebagai juru selamat di era 1930-an sudah memudar. Penyebab utamanya adalah ketika pada akhir tahun 1973 negara Arab, produsen minyak membentuk sebuah kartel, OPEC dan menyebabkan harga minyak melambung tinggi. Karena harga minyak terus mengngkat, terjadilah gerak naik harga-harga dan upah-upah. Akibat lebih jauh adalah terjadinya resesi ekonomi, pengangguran dan inflasi harga mencapai 20 persen disejumlah negara, serta ketidakmampuan negara-negara ketiga untuk membayar hutangnya.1 Hal ini membuat paham Keynesian dicap sebagai biang kerok, negara tidak berdaya dalam menghadapi gelombang resesi.

Akhir dari paham Keynesian ini ditandai dengan munculnya Neoliberalisme sebagai aliran kanan baru. Selain itu, terpilihnya Margareth Thatcher sebagai perdana menteri Inggris (1979) dan terpilihnya Ronald Reagan sebagai presiden Amerika Serikat serta berkembangnya para tokoh Mont Pelerin Society, semakin memperkokoh kedudukan Neoliberalisme. Pokok dasar ajaran swastanisasi, deregulasi dan privatisasi menjadi mantra Neoliberalisme guna melebarkan sayapnya di Eropa, Amerika, Asia dan bebnerapa negara Afrika. 

Dari sinilah Juggernaut Neoliberalisme menggilas seluruh negara yang ada di belahan bumi manapun. Meski perlawanan Marxisme beserta gagasan Revisonisme (New-Left, Neo-Marxisme, Post-Marxisme dan sebagainya) terus melakukan pemberontakan. Akan tetapi, Kapitalisme-Neoliberalisme dengan kelamin gandanya senantiasa mampu menepis gempuran kaum kiri. Karena perlu dicatat bahwa bukan hanya sektor ekonomi saja yang menjadi objek Kapitalisme-Neoliberalisme. Tetapi juga budaya, politik, media, pendidikan, serta segmentasi masyarakat lainnya. Hal inilah yang menjadikan Kapitalisme-Neoliberalisme seolah-olah menjadi pemenang dari berbagai ideologi lainnya. 

Kapitalisme; Mencangkokkan Diri Dalam Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, penngendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU Sisdiknas pasal 1 no. 20 tahun 2003). Benarkah isi UU tersebut sudah mencerminkan praktek pendidikan di Indonesia. Seakan jauh dari realitas yang diharapkan, banyak potensi dari putra-putri masyarakat Indonesia yang tak tersalurkan hanya karena biaya sekolah mahal. Kemudian, sudahkah pemerintah sebagai lokomotif negara menjalankan amanat pembukaan undang-undang 1945?. Bukankah UU. No. 20 Tahun 2003 pasal 53 tentang BHP, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat pembukaan undang-undang tersebut. Nah, detik ini UU BHP sudah dikomodifikasi dengan bentuk regulasi perundang-undangan pendidikan yang baru. Sebenarnya, tidak hanya dalam bentuk undang-undang semata, akan tetapi sudah banyak terjadi kapitalisasi dunia pendidikan di Indonesia.

Sangat menarik ketika mengkaji pendidikan dengan prespektif kerja Kapitalisme, meski terkadang membingungkan dalam merumuskan bagaimana cara Kapitalisme mencangkokkan diri dalam pendidikan. Akhir-akhir ini semakin marak aksi protes terkait pendidikan nasional dan isu cengkeraman Kapitalisme dalam dunia pendidikan. Melalui UU tersebut, ada indikasi bahwa pemerintah sedang mempersiapkan dunia pendidikan sebagai pasar baru dan ajang bisnis bagi para elite pemodal. Masih ingatkah kita dengan perjanjian Letter of Intens pada tahun 1999, perjanjian tersebut mengharuskan pemerintah untuk mengurangi subsidi terhadap pendidikan. Selain itu pemerntah juga ikut menyepakati hasil rumusan WTO tentang pendidikan sebagai sektor jasa, yakni sektor yang nantinya dapat diperjual belikan.

Terhitung sejak berlakunya UU PMA (Penanaman Modal Asing) pada tahun 1967, ternyata prosentasenya semakin bertambah banyak. Bisa diambil gambaran semisal, Melalui Perpes No.76 Tahun 2007 dan No.77 menyebutkan bahwa pemerintah membuka pintu masuk bagi pemodal untuk menanamkan investasinya dalam pendidikan di Indonesia sampai dengan 49 persen, baik ditingkatan sekolah dasar, tinggi dan pendidikan nonformal. Coba bayangkan 49 persen bukanlah jumlah yang sedikit, bisa ditebak apabila separuh dari seluruh lembaga pendidikan di Indoneia dimiliki oleh pihak asing atau investor lokal (terminologi kapitalisme pribumi), maka privatisasi pendidikan melalui deregulasi tak dapat dielakkan.

Kesadaran Kritis atas Ketertindasan

Dalam terminologi Paulo Freire, pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia (Humanisasi). Dia beranggapan telah terjadi dehumanisasi dalam dunia pendidikan. Keprihatinannya adalah ketika melihat kehidupan kaum miskin Brazil yang buta huruf, membuat dirinya tergugah untuk membebaskan masyarakat tertindas melalui pendidikan (yang dilakukan adalah menyadarkan masyarakat). Pengertian ungkapan tertindas tersebut sangat erat kaitannya dengan pemahaman kaum tertindas prespektif Marxian. Yakni sama-sama dalam bingkai perjuangan kaum tertindas.

Jika Paulo Freire memahami penindasan manusia minoritas atas manusia mayoritas dalam dunia pendidikan, contoh kasus adalah mengesampingkan masyarakat miskin buta huruf Brazil, dan diperlukan kesadaran kritis guna membebaskan diri dari Dehumanisasi. Disatu sisi pendidikan sebagai proses Humanisasi, tetapi disisi lain pendidikan bisa jadi sebagai upaya Dehumanisasi, bahkan sebagai pelanggengan ideologi tertentu (prespektif Gramscian). Sedangkan dalam prespektif Marxian penindasan adalah penghisapan kaum borjuis atas kaum proletar, sehingga perlu adanya kesadaran kelas guna mengkonsolidasi kekuatan proletariat demi terciptanya social justice. Apabila Marxisme sebagai alat analisis, kemudian digabungkan dengan beberapa pemahaman tentang pendidikan kritis (pemikiran Ivan Illich, Henry Giroux dkk), maka akan mudah dalam menyingkap selubung ideologi Kapitalisme dalam pendidikan. Dengan kesadaran kritis (bisa diartikan kesadaran kelas tertindas prespektif Marxian), masyarakat akan memiliki kemampuan membaca kondisi pendidikan dan kaitanya dengan realitas sosial.

Kapitalisme selalu identik dengan komersialisasi (komoditas), privatisasi, akumulasi, swastanisasi, deregulasi, eksploitasi, kerusakan alam dan semacamnya. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan primer bagi warga negara dan mutlak harus dipenuhi. Akan tetapi, mengapa masih saja ada warga yang belum terpenuhi kebutuhannya. Seolah ada jarak pemisah antara orang yang mampu memenuhi kebutuhan pendidikannya dan orang yang tidak mampu. 
Oposisi binner antara si kaya dan si miskin, semakin terlihat jelas. Inilah dampak dari pendidikan yang dijadikan komoditas. Mengapa demikian?, harus dipahami bahwa pendidikan saat ini berjalan searah dengan mekanisme pasar. Salah satu contoh adalah BHP sebagai metamorfosa dari BHMN merupakan ancaman bagi tercapainya cita-cita luhur pendidikan yang termaktub dalam pembukaan UU 1945. Beberapa Universitas yang sudah menjadi BHMN yaitu UGM, ITB, UI, IPB, USU, dan UPI Bandung mengalami kenaikan biaya pendidikan cukup tinggi. Sehingga, tidak semua orang bisa dengan mudah mengenyam pendidikan tinggi.

Kecanggihan Kapitalisme; Mengantarkan Massa dalam Dilema Globalisasi


Globalisasi sebagai efek yang disebabkan oleh kecanggihan kapitalisme dalam memperkokoh dirinya. Ruang dan waktu dengan mudahnya seolah dapat kita lipat dalam genggaman tangan kita. Penggunaan teknologi canggih mewarnai keseharian hidup umat manusia. Terjadi universalisme peradaban, barat menjadi tolok ukur bagi peradaban lainnya. Terus apa kaitannya dengan pendidikan?. Sadar atau tidak sadar umat manusia sedang terjebak dalam pusaran arus besar yang serba membingungkan. Mereka sudah tidak bisa membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan (one dimencional man).

Pendidikan sebagai kebutuhan primer ternyata tidak selamanya begitu bagi orang kaya. Bagi mereka pendidikan adalah keinginan untuk menaikkan prestise. Mayoritas orang kaya lebih memilih sekolah yang mahal untuk mensekolahkan putra-putrinya. Mereka lebih suka yang berbau Eropa/Barat dari pada Indonesia. Selain itu Globalisasi juga menimbulkan efek negatif semisal, budaya instan dalam pendidikan, masyarakat konsumsi dalam pendidikan, serta beberapa degradasi spiritualitas, moral akibat efek media elektronik.
Begitulah proses kapitalisasi pendidikan, dimana komodifikasi pendidikan sebagai ladang bisnis menjadi ancaman bagi terselenggaranya pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Disamping itu, deregulasi yang dilakukan pemerintah juga semakin memperluas kesempatan swasta dalam mencaplok lembaga-lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Daftar pustaka

Depag RI, Himpunan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Dirjen. Binbaga, 1991/1992).

Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man; kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Yogyakarta: Qalam, 2004.

R. Knight, George, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Gama Media, 2007.

Naim, Ngainun, Rekonstruksi Pendidikan Nasional; membangun paradigma yang mencerahkan, Yogyakarta : Teras, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar