Teori Kritis
Mazhab Frankfurt
Pemikiran kritis Mazhab Frankfurt disebut juga dengan nama
“Teori Kritis” atau Kritische Theorie. Mazhab Frankfurt yang
diidentikkan dengan Teori Kritis ini dikenalkan oleh sebuah lembaga yang
dibentuk di Universitas Frankfurt, yaitu Institut fur Socialforschung
(Institut Penelitian Sosial) yang didirikan pada tahun 1923. Institut ini
merupakan salah satu jurusan resmi di universitas tersebut. Perintisnya adalah
seorang sarjana ilmu politik bernama Felix Weil.
Perlu diketahui, sebagai “mazhab” atau “aliran” yang
dipahami sebagai arus pemikiran kritis, oleh berbagai kalangan, aliran ini
kemudian dikenal dengan sebutan “Mazhab Franfurt”. Dan pada perkembangan mazhab
ini, yang paling dikenal sebagai Generasi Pertama Teori Kritis adalah Max
Horkheimer (yang menjadi direktur sejak 1930), Theodor Wiesengrund-Adorno (yang
menjadi direktur sejak 1951), dan Herbert Marcuse. Sedangkan Generasi Kedua
Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt adalah Jurgen Habermas yang merupakan filsuf
paling kondang di zaman ini. Awalnya, pemikiran Mazhab Frankfurt dikenal
sebagai Teori Kritis melalui majalah yang didirikan oleh Max Horkheimer, yaitu Zeitschrift
fur Socialforschung.
Kritik Terhadap Positivisme
Teori kritis yang berkembang pada Mazhab Frankfurt
menggunakan pendekatan kritik dalam arti Hegelian, Kantian, Freudian, dan
Marxian (Hardiman 2009;52-59). Teori Kritis Mazhab Frankfurt tidak seperti ilmu
alam yang memiliki metodologis berurat berakar, teori kritis lebih tepat di
katakan merupakan program metodologis jangka panjang yang selalu di perbaiki
dan di perlengkapi dengan wawasan baru. Secara singkat, dapat di katakan teori
kritis memiliki kehendak lewat maksud menyusun suatu “teori dengan maksud
praktis”.
Sebelumnya,
seluruh program teori kritis Mazhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah
manifesto yang di tulis dalam Zeitschrift tahun 1937 oleh Horkheimer.
Konsep teori kritis pertama kali muncul dalam artikel Horheimer yang berjudul Traditionelle
und kritische Theorie (Teori Tradisional dan Teori Kritis). Artikel ini
mengkritik teori tradisional yang dianggapnya teori yang disinterested yang
jatuh pada saintisme dan positivisme. Oleh Horkheimer, positivistik digolongkan
ke dalam teori tradisional karena berusaha menerapkan teori ilmu-ilmu
empiris-analitis atau pendekatan ilmu alam, untuk menjelaskan kenyataan sosial
masyarakat.
Menurut Horkheimer, cara kerja teori tradisional tidak saja
dengan cara deduktif tetapi juga Induktif. Yakni bertolak dari hukum yang sudah
di rumuskan menuju kepada fakta konkret yang dipandang tunduk pada hukum umum
itu, tetapi juga bertolak dari pengamatan data khusus dan mengambil kesimpulan
umum darinya, yang menjadi suatu “hukum”. Dengan kedua metode inilah menurut
Horkheimer, meminjam istilah Edmund Husserl, bahwa teori tadisional memiliki
“sistem tertutup”, yaitu bahwa ilmu-ilmu (cara kerja teori tradisional) tidak
hanya sukses menjelaskan fakta, tetapi juga sukses memanipulasi, memprediksi
dan mendayagunakan. Hal inilah yang disebutnya menjadi pendorong para
pemikir-pemikir (akademisi abad modern) untuk menerapkan metode
deduktif-induktif pada ilmu sosial budaya atau menjelaskan gejala sosial
kemanusiaan. Perihal ini mengakibatkan teori tradisional terselubung dalam
“ideologi ketat” dari teori positivistik di dalamnya.
Selubung “ideologis” inilah yang ingin dibuka Horheimer
dengan memaparkan tiga pengandaian dasar yang termuat dalam artikelnya.
Pertama, teori tradisional mengandaikan bahwa pengetahuan manusia tidak
menyejarah atau bersifat ahistoris. Dalam wawasan teori ini, kegiatan berteori
harus di lakukan dengan cara memisahkan unsur subjektif dari teori. Berdasarkan
ciri ahistorisnya itu maka tampak pengandaian kedua dari teori
tradisional, yakni bahwa mengenai fakta atau objek yang diketahui oleh
pengetahuan teoritikus bersifat netral; dan bertolak dari netralitasnya tampak
pula pengandaian ketiga, yakni bahwa teori dapat di pisahkan dari
praxis, proses penelitian dapat di pisahkan dari tindakan etis, dan pengetahuan
dapat dipisahkan dari kepentingan. Karena berusaha mencapai status teori demi
teori dengan tidak mempengaruhi objeknya, teori tradisional membenarkan dan
membiarkan fakta itu tanpa menarik konsekwensi praktis untuk mengubahnya.
Horkheimer kemudian menganalisa bahwa jika teori semacam itu
diterapkan pada kenyataan sosial kemasyarakatan, teori menjadi bersifat
ideologis dan menjadi penjaga status quo yang bersifat menindas.
Horkheimer menggambarkan sifat ideologis ini lewat tiga gejala. Pertama,
dengan anggapan bahwa teori itu ahistoris, Teori tradisional mengklaim dirinya
universal, berlaku dimana saja secara transenden dan suprasosial, sehingga
dengan demikian melupakan proses kehidupan konkret di dalam masyarakat riil. Kedua,
dengan anggapan bahwa teori itu bersifat netral, Teori tradisional berdiam diri
terhadap masyarakat yang menjadi objeknya dan membenarkan keadaan tanpa
mempertanyakannya. Ketiga, dengan memisahkan diri dari praxis, Teori
tradisional mengejar teori demi teori dan tidak memikirkan implikasi praxis
dari teori itu. Dengan jalan ini pula teori tradisional tidak bertujuan
mengubah keadaan, malah melestarikan status quo masyarakat.
Lebih jauh, Horkheimer mengatakan bahwa teori mengenai
masyarakat yang tidak netral, ahistoris dan lepas dari praxis itu, harus
bersifat “kritis”. Horkheimer mencoba menerangkan kata “kritis” tersebut dengan
memakai arti kritik menurut pemikiran Hegelian dan Marxian lewat metode
dialektika Marxis, akan tetapi berbeda dengan Marx dan Hegel, teori Kritis
Horheimer memakai metode dialektika tertentu yang mengarah ke masa depan atau
apa yang mereka sebut Unabgeschlosenne Dialektik (Dialektik Terbuka).
Dengan metode dialektis, menurut Horkheimer, Teori kritis
memiliki empat karakter. Pertama, bersifat historis (sesuai dengan
kenyataan), kedua di susun berdasarkan kesadaran dan keterlibatan
historis dari para pemikirnya (evaluasi, kritik dan refleksif terhadap dirinya
sendiri), Ketiga, membongkar kedok ideologis, manipulasi, ketimpangan
dan kontradiksi dalam masyarakat. Dan yang keempat, Teori kritis
merupakan teori dengan maksud praxis, merupakan komitmen praktis sang pemikir
kritis di dalam sejarahnya. Dengan cara ini, Teori Kritis menjadi tidak netral.
Sebagai Manifesto atau program jangka panjang dari Mazhab
Frankfurt, artikel Horkheimer belum secara jelas merumuskan dasar epistimologis
teori kritis. Akan tetapi, dalam artikel itu, Horkheimer membedakan dengan
jelas dua macam ilmu pengetahuan dengan dua macam metodologi yang berbeda satu
sama lain oleh karena objeknya juga berbeda, yaitu ilmu-ilmu alam yang menganut
konsep Teori Tradisional dan ilmu-ilmu kemanusiaan yang di harapkan menganut
konsep Teori Kritis.
Kritik terhadap Masyarakat Modern
Potret terhadap rasionalitas masyarakat modern coba untuk
disoroti oleh Adorno dan Horkheimer, berdasarkan praktik teknokratisme dan
stalinis. Menurut mereka ilmu dan teknologi ternyata sama berubah menjadi mitos
baru. Lewat karya bersama Dialektik der Aukflarung, mereka mengatakan
bahwa masyarakat modern telah membuat struktur masyarakat baru yang yang saling
mendominasi, serta berpikir positivistik yang menjadi ideologi dan mitos baru.
Lebih radikal lagi menurut Adorno dan Horkheimer, rasio
kritis (modernitas) ternyata tak kurang dari mitos baru dalam bentuk yang lebih
halus, lebih luhur, dan lebih dapat diterima oleh orang modern. Istilah
Dialektika Pencerahan ini merujuk pada kondisi terjalinnya atau kait-mengaitnya
antara mitos dan rasio. Istilah ini merupakan pendirian yang mencolok dari
Mazhab Frankfurt bahwa teori kritis yang dilandasi rasio kritis itu sendiri
berubah menjadi mitos atau ideologi dalam bentuk baru. Emansipasi masyarakat
(memerangi proses mekanisasi masyarakat dalam bentuk sistem ekonomi dan
administrasi birokratis), yang menjadi keprihatinan mereka, dilukiskan sebagai
gerakan sia-sia dalam mitos demi mitos yang tak kunjung habis.
Kritik serupa dilontarkan Marcuse dalam One-Dimensional Man.
Dalam karya ini, situasi masyarakat industri maju dilukiskan sebagai masyarakat
berdimensi tunggal. Dengan hilangnya dimensi kedua, negasi atau perlawanan
terhadap sistem masyarakat hanya mengadaptasi dominasi total teknokratisme.
Kalau emansipasi pada gilirannya berubah menjadi dominasi baru. Dengan kata
lain, sebuah kritik rasional menjadi mustahil. Akibatnya, dalam masyarakat
dewasa ini juga tertutuplah ruang untuk kritik rasional itu, sebab dominasi
telah total.
Jurgen Habermas yang kemudian tampil sebagai pembaharu teori
kritis tidak sekedar menilai para pendahulunya memiliki kelemahan-kelemahan epistemologis
yang mengantar mereka ke jalan buntu itu, melainkan juga memberi sebuah
pemecahan mendasar yang sangat subur untuk meneruskan “proyek” teori kritis ala
Frankfurt tersebut. Ide teori kritis belum berakhir. Habermas menyuburkannya
kembali dalam paradigma baru.
Buku Bacaan
Hardiman,
F. Budi. 2009. Kritik Ideologi; Menyingkap Pertautan Antara Pengetahuan dan
Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta : Kanisius.
http://www.marxists.org/subject/frankfurt-school/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar