Nahdlatul ulama’, di singkat NU, artinya kebangkitan ulama’. Sebuah organisasi yang di dirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926 M/ 16 Rojab 1344 H di Surabaya.
Latar
belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran
keagamaan dan politik dunia islam kala itu. Salah satu faktor pendorong
lahirnya NU adalah karena adanya tantangan yang bernama globalisasi yang
terjadi dalam dua hal :
·
Globalisasi
Wahabi, pada tahun 1924, Syarief Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang
berpaham Sunni di taklukkan oleh abdul aziz bin saud yang beraliran
Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk
amaliyah keagamaan kaum sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun
di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan
agama dengan sistem bermadzhab, tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan
lain sebagainya, akan segera di larang.
· Globalisasi
imperialisme fisik konvensional yang di Indonesia di lakukan oleh
Belanda, Inggris, dan Jepang, sebagaimana juga terjadi di belahan bumi
Afrika, Asia, Amerika Latin, dan negeri-negeri lain yang di jajah bangsa
Eropa.
Tentang
globalisasi Wahabi, dengan berbagai variannya, Raja Ibnu Saud juga
ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan
dalih demi kejayaan islam, ia berencana meneruskan kekhilafahan Islam
yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyyah. Untuk itu dia
berencana menggelar Muktamar/kongres Khilafah di kota suci Makkah,
sebagai penerus Khilafah yang terputus itu. Gerakan wahabi, seperti
terjelma dalam diri Syaikh Ahmad Soorkati, KH Ahmad Dahlan, dan
perintis-perintis awal pemurnian ajaran agama dengan segala perbedaan
masing-masing, mulai muncul perlombaan dengan keislaman pesantren yang
bercorak tasawwuf, bertarekat dan bermazdhab.
Seluruh
negara Islam akan di undang untuk menghadiri muktamar/kongres tersebut,
termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang di rekomendasikan adalah HOS
Cokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur (Muhammadiyyah) dan KH. Wahab
Hasbullah (pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik di antara
kelompok yang mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alasan Kyai
Wahab tidak mewakili organisasi resmi, maka namanya di coret dari daftar
calon utusan. Peristiwa
itu menyadarkan para ulama’ pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah
organisasi. Sekaligus menyisakan sakit hati yang mendalam, karena tidak
ada lagi yang bisa di titipi sikap keberatan akan sikap Raja Ibnu Saud
yang merubah model beragama di Makkah. Para Ulama’ pesantren sangat
tidak bisa menerima kebijakan raja yang
anti kebebasan bermadzhab, anti maulid nabi, anti ziaroh makam, dan
lain sebagainya. Bahkan santer terdengar berita makam Nabi Muhammad SAW
pun berencana akan di gusur.
Bagi
para kyai pesantren, pembaharuan adalah suatu kaharusan. KH. Hasyim
Asy’ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan kaum modernis
untuk menghimbau umat Islam kembali pada ajaran Islam “murni”. Namun
Kyai Hasyim tidak bisa menerima pemikiran mereka yang meminta ummat
Islam melepaskan diri dari
sistem bermadzhab. Di samping itu, karena ide pembaharuan di lakukan
dengan cara melecehkan, merendahkan, dan membodoh-bodohkan, maka para
ulama’ pesantren menolaknya. Bagi mereka, pembaharuan tetap di butuhkan,
namun tidak dengan meninggalkan khazanah keilmuan yang sudah ada dan
masih relevan. Karena latar belakang yang mendesak itulah, akhirnya
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ didirikan. Oleh karena itu, di putuskanlah
bahwa NU akan mengirim Komite Hijaz ke Arab Saudi untuk bernegosiasi
agar praktik-praktik keberagamaan bermadzhab tidak di hapus di Haromain.
Menurut KH Abdul Wahid Hasyim, Ini adalah salah satu keputusan para
ulama’ dalam rapatnya di Surabaya pada 31 Januari 1926, di samping
keputusan mencetuskan NU (Aboebakar,1957:471) yang bercorak Ahlussunnah
Wal Jama’ah.
Tentang
imperialisme fisik konvensional, hal itu di tandai dengan kehadiran
fisik militer dan pemerintah imperialis di bumi Nusantara, yang membuat
sengsara dan memiskinkan masyarakat pedesaan dan seluruh masyarakat
nusantara pada umumnya. Strategi dan perjuangan kelompok pesantren dalam
menghadapi imperialisme fisik konvensional ini tidaklah mudah, sehingga
perlu wadah organisasi yang solid dan dari situlah akhirnya para kyai
yang melakukan rapat di Surabaya bersepakat untuk mendirikan organisasi
yang kemudian di sebut Nahdlatul ‘Ulama. Peran NU dalam menghadapi
imperialisme fisik ini telah di tunjukkan dengan mengeluarkan Resolusi
Jihad melawan penjajah dalam rapat para ulama di Surabaya pada 22
Oktober 1945.
Pendiri
resminya adalah Hadrotusy Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok
Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak
sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Wahab Hasbullah, pengasuh
Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Kyai Wahab adalah
salah seorang murid utama Kyai Hasyim yang lincah, enerjik dan banyak
akal.
Pemikiran dan Visi Misi NU
Organisasi
Nahdlatul ‘Ulama didirikan dengan tujuan untuk melestarikan,
mengembangkan dn mengamalkan ajaran Islam, dengan paham keagamaannya
kepada sumber ajaran Islam : Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ (kesepakatan
ulama’), dan Al-Qiyas (analogi), dalam memahami dan menafsirkan Islam
dari sumbernya di atas, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan
menggunakan jalan pendekatan madzhab :
1. Dalam
bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang di
pelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
2. Dalam
bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab) Imam Abu Hanifah
an-Nu’man (Imam Hanafi), Imam Malik Bin Annas (Imam Maliki), Imam
Muhammad Bin Idris as-Syafi’i (Imam Syafi’i), dan Imam Ahmad Bin Hanbal
(Imam Hanbali)
3. Dalam bidang Tasawwuf mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghozali, serta imam-imam lain
Bahkan
dalam anggaran dasar yang pertama tahun 1927 dinyatakan bahwa
organisasi NU bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada
salah satu madzhab empat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan kala itu
antara lain :
1. Memperkuat persatuan ulama’ yang masih setia kepada madzhab
2. Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam
3. Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat
4. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya
5. Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar/musholla, dan pondok pesantren
6. Membantu anak-anak yatim-piatu dan fakir-miskin
Dalam perkembangannya, NU dalam keputusan Muktamar di Donohudan, Boyolali tahun 2004 di sebutkan :
Tujuan
Nahdlatul ‘Ulama didirikan adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut
paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menurut salah satu madzhab empat
untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan
demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana di atas, maka NU melaksanakan usaha-usaha sebagaimana berikut :
1. Di
bidang Agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut
paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menurut salah satu madzhab empat dalam
masyarakat dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan amar ma’ruf nahi
munkar
2. Di
bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan terwujudnya
penyelenggaraan pendidikan dan pengejaran serta pengembangan kebudayaan
yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi muslim
yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta
berguna bagi agama, bangsa dan negara.
3. Di bidang sosial, mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyar Indonesia
4. Di
bidang ekonomi, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi unuk
pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan,
dengan mengutamakan tumbuh dan kembangnya ekonomi kerakyatan
5. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khoiro Ummah
Sikap NU
Dalam
pendekatan dakwahnya, NU lebih banyak menggunakan dakwah model
walisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan
tidak mengandalkan kekerasan. Budaya yang bersala dari suatu daerah,
ketika isalam belum datang – bila tidak bertentangan dengan agama – akan
terus di kembangkan dan di lestarikan. Sementara budaya yang jelas
bertentangan di tinggalkan. Karena identiknya gaya dakwah walisongo itu,
nama walisongo melekat erat dalam jam’iyyah NU, di masukkan dalam
bentuk bintang sembilan dalam lambang NU. Sebutan bintang sembilan pun
melekat erat pada Nahdlatul ‘Ulama.
Secara gaaris besar, pendekatan kemasyarakatan NU dapat di kategorikan menjadi tiga bagian :
1. Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan Tathorruf (ekstrim)
2. Tasammuh yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat
3. Tawazzun yaitu
sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan
antara sesama ummat manusia dan antara manusia dengan Allah SWT
Karena
prinsip dakwahnya yang model Walisongo itu, NU di kenal sebagai pelopor
kelompok Islam moderat. Kehadirannya bisa di terima oleh semua kelompok
masyarakat. Bahkan sering berperan sebagai perekat bangsa.
Sumber ;
Nur Kholik Ridwan. 2008. NU dan Neoliberalisme : tantangan dan harapan menjelang satu abad. Yogyakarta : Lkis
H.Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S.Sos. 2007. Antologi NU : sejarah, istilah, amaliah uswah. Surabaya : khalista bekerjasama dengan Ta’lif Wan Nasyr (LTN NU) Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar